Dalam paparan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hari Selasa (4/12/2018), koordinator penelitian Cahyo Pamungkas menjelaskan intoleransi berdasarkan isu agama telah muncul di sejumlah kota sejak 2015 sampai sekarang. Menurutnya intoleransi di media sosial berupa ujaran kebencian.
Hasil penelitian, kata Cahyo, adalah 45 responden setuju dan sangat setuju ketika ditanya apakah menerima presiden seagama. Sebanyak 28 responden setuju dan sangat setuju terhadap wali kota atau bupati satu suku.
Kemudian 34 persen responden setuju dan sangat setuju dengan kepala desa sesuku dan 48 responden setuju dan sangat setuju terhadap kepala desa seagama. Sebanyak 46 persen setuju dan sangat setuju dengan gubernur seagama dan 47 persen setuju serta sangat setuju dengan wali kota atau bupati seagama.
“Kita bisa menyimpulkan bahwa keinginan untuk menerima atau sikap untuk menerima pemimpin politik yang segama lebih besar dari sikap untuk menerima pemimpin yang satu etnik. Jadi di sini faktor identitas agama memiliki peranan yang sangat penting daripada etnik,” tukas Cahyo.
Cahyo menilai intoleransi politik di Indonesia cukup tinggi, sebaliknya intoleransi sosial rendah. Hal ini terlihat dari temuan penelitian yang dilakukan timnya. Dia menyebutkan sebagian besar responden tidak mendukung organisasi-organisasi keagamaan yang melakukan kekerasan dan kebanyakan responden merasa tidak terganggu ketika penganut agama lain menggunakan pengeras suara saat beribadah.
Temuan lain yang mengkhawatirkan, menurut Cahyo, adalah lebih dari separuh responden setuju terhadap penggunaan kekerasan atas aliran sesat, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Selain itu, 40 persen responden setuju Indonesia menjadi negara Islam.
Menurut Cahyo, dalam penelitian bertajuk Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia, timnya menggunakan definisi intoleransi sebagai sebuah orientasi keagamaan yang menolak hak sosial dan hak politik dari kelompok agama atau kelompok etnik yang berbeda. Sedangkan radikalisme adalah penafsiran keagamaan yang bertujuan untuk mengganti sistem politik suatu negara.
Lebih lanjut Cahyo menekankan penelitian timnya berbeda dengan kajian lain versi Wahid Institute, Setara Institute, atau lembaga Survei Indonesia, karena melakukan uji hipotesis, yakni sejauh mana identifikasi agama dan etnik berpengaruh terhadap intoleransi dan radikalisme dengan menggunakan beberapa variabel, seperti perasaan terancam, fanatisme keagamaan, ketidakpercayaan, penggunaan media sosial, tingkat sekulerisasi, dan status sosial ekonomi.
Alasan pemilihan sembilan provinsi tersebut, lanjut Cahyo, adalah daerah itu memiliki tingkat keragaman agama paling tinggi di Indonesia, kecuali Yogyakarta dan Aceh. Responden adalah masyarakat umum berumur 17-64 tahun atau yang sudah menikah dengan tingkat kesalahan 2,4 persen secara nasional.
Dari 1.800 reponden tersebut, 87 persen beragama Islam, 48 persen perempuan, sebagian besar menengah ke bawah, dan 77 persen sudah menikah.
Pengajar dari Universitas Pertahanan Aris Arif Mundayat menjelaskan media sosial itu adalah tempat pertarungan antara kelompok radikal dan non-radikal. Berita-berita hoaks bisa menjadi salah satu senjatanya.
Sebagai ahli antropologi, Aris tidak mau menggunakan istilah radikalisme tetapi khilafahisme untuk menyebut orang-orang yang setuju dengan konsep khilafah.
Alasannya, kata dia, berdasarkan hasil wawancara kelompok tersebut tidak mau disebut radikal karena itu istilah dari penguasa kepada oposisi.
Untuk menjelaskan soal intoleransi dan radikalisme, menurut Aris, dapat dilihat dari persaingan antara tatanan dunia modern, tatanan dunia China, dan tatanan dunia Islam. Dia mencontohkan perang dagang antara Amerika Serikat dan China merupakan bagian dari kontestasi antara tatanan dunia modern dengan tatanan dunia China.
Menurut Aris, kelompok-kelompok pendukung khilafah adalah orang-orang yang berjuang untuk membentuk tatanan dunia Islam. Untuk mencapai tujuannya itu, lanjut dia, kelompok khilafahisme ini – adalah orang-orang yang memiliki ketidakpuasan terhadap kondisi politik – sehingga menghasilkan pragmatisme tafsir.
Pragmatisme tafsir ini akhirnya memunculkan pemikiran-pemikiran mengenai negara alternatif yang disebut negara khilafah dan ini bagian dari mewujudkan tatanan dunia Islam.
“Mereka meyakini bahwa disnilah khilafahisme perlu diwujudkan tetpai persoalannya khilafahisme ini berhadapan dengan negara modern. Oleh karena itu, mereka menggunakan berbagai macam cara. Kelompok seperti JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), kemudian Jamaah Ansharud Daulah (JAD), atau JI zamannya Al-Qaidah, ataupun ISIS, menggunakan instrumen teror melawan negara modern. Terorisme hadir di dalam negara modern,” kata Aris.
Selain itu, Aris mengungkapkan kelompok khilafahisme ini memiliki gerakan sosial politik, seperti HTI, khilafatul muslimin. Mereka juga melakukan penetrasi budaya sehingga menghasilkan benih-benih yang akhirnya berhadapan dengan elemen-elemen yang ada di dalam masyarakat dan negara.
Kelompok pendukung khilafah ini memiliki dua cara berjihad, yakni jihad tempur dan jihad intelektual. Jihad tempur adalah melakukan perlawanan bersenjata untuk merebut wilayah-wilayah dalam suatu negara untuk dijadikan daulah islamiyah atau negara Islam.
“Jihadi intelektual, ini proses pengakarannya melalui tarbiyah. Ini yang berat. Kenapa? Karena dia masuk melalui PAUD, SD, SLTP, SLTA, perguruan tinggi. Kemudian mereka menguasai masjid kampung, masjid perumahan karena kelompok moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, mengalami mobilitas vertikal secara politik sehingga (masjid) ditinggalkan, kemudian masjid sekolah, asrama mahasiswa, dan membangun kos-kosan syariah di sekitar kampus,” imbuhnya.
Setelah lulus perguruan tinggi, lanjut Aris, orang-orang pro-khilafah ini lalu menjadi aparatur negara dan biasanya yang disasar adalah sektor imigrasi, keuangan, dan pajak.
M. Adlin Sila dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama mengatakan dari tujuh daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme dan intoleransi, ada tiga yang menjadi faktor penetu, yakni kearifan lokal, kesejahteraan, dan kepastian hukum. Dia menegaskan kalau ketiga faktor ini ditingkatkan, otomatis radikalisme turun.
“Agama semakin dominan tapi tampilan Islam berbeda-beda antara satu individu dengan individu yang lain, antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Apalagi dalam satu kelompok sosial yang sama, keberagaman sangat tinggi,” ujar Adlin.
Adlin menekankan ekspresi agama di depan publik tidak identik dengan radikalisme atau fanatisme. Dia menambahkan dalam disertasinya bahwa agama itu semakin berperan dalam masyarakat Indonesia hanya saja tampil dalam beragam wajah.