Mahyudin menyinggung soal memilih kepala daerah dan wakil rakyat berkaitan dengan salah satu tantangan internal yang dihadapi Indonesia. Tantangan internal itu adalah kurangnya keteladanan sikap dan perilaku sebagian tokoh bangsa.
Kurangnya keteladanan itu tercermin dalam perilaku korupsi. Banyak pemimpin bangsa yang ditangkap karena korupsi. Mahyudin menyebutkan ketua DPR, ketua DPD, kepala daerah, anggota DPR, anggota DPRD, bahkan menteri yang terkena kasus korupsi. “Negara ini rusak karena korupsi,” ujarnya.
Karena itu, Mahyudin meminta masyarakat untuk memilih wakil rakyat yang tidak melakukan politik uang atau money politics. Sebab, politik uang itulah penyebab terjadinya korupsi. Mahyudin menyebutkan ketika calon kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) dan calon wakil rakyat melakukan money politics, maka ada dua akibatnya.
Pertama, calon yang melakukan money politics ketika kampanye maka jika terpilih dia akan mengembalikan uang yang telah dikeluarkan saat kampanye itu.
Kedua, calon yang melakukan money politics maka dia tidak memiliki integritas. “Ketika ingin dipilih dia menyogok rakyatnya maka jika terpilih dia akan mudah disogok,” ujarnya.
Calon yang seperti ini, lanjutnya, tidak punya integritas membangun bangsa ini lebih baik. Dia hanya punya ego untuk kepentingan terpilih. Menurut Mahyudin, money politics ini membuat beceknya lapangan demokrasi di Indonesia.
“Akibatnya mereka yang memiliki uang bisa terpilih. Maka kapitalisasi terjadi dalam kebijakan. Ini terjadi di pusat dan daerah,” paparnya.
Demokrasi, menurut dia, seharusnya mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat. “Tapi, jujur, dalam pandangan saya, bangsa kita tidak siap 100% melaksanakan demokrasi pemilihan secara langsung,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, demokrasi langsung efektif di negara-negara maju yang pendapatan per kapita di atas USD11.000. Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia baru USD3.500.