Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XVI baru saja diluncurkan oleh Menteri Koordinator bidang ekonomi Darmin Nasution, dihadiri juga oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Wakil Ketua Otoritas Jasa Keuangan Nurhaida.
Sasaran utama diluncurkannya PKE XVI ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang masih lemah serta memperkuat kurs rupiah yang sempat anljok.
Pemerintah sepertinya sedang menghadapi tekanan berat terkait dengan kinerja perekonomian nasional. Pemerintah sepertinya frustrasi menghadapi pertumbuhan ekonomi yang masih lemah dan tidak sesuai harapan.
Sejak menjabat, pertumbuhan ekonomi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla berkisar sekitar 5 persen saja, jauh dari target 7 persen. Pertumbuhan ekonomi 2015 hingga 2017 hanya 4,79 persen, 5,02 persen dan 5,07 persen. Dan yang lebih mengkhawatirkan, kurs rupiah merosot terus dari sekitar Rp12.000 per dolar AS pada Oktober 2014 menjadi Rp15.000 per dolar AS pada Oktober 2018. Padahal, pemerintah sudah berupaya keras meluncurkan PKE yang berjilid-jilid itu sejak 2015 untuk memperkuat daya saing perekonomian nasional dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen. Tetapi, PKE-PKE yang sangat bagus narasinya tersebut tidak berdaya.
Meskipun sudah dibantu dengan progam tax amnesty yang sangat kontroversial, pertumbuhan ekonomi tidak beranjak signifikan. Investasi pada triwulan III 2018 bahkan lebih rendah dari periode yang sama 2017, yaitu Rp173,8 triliun (Q3-2018) versus Rp176,6 triliun (Q3-2017).Seperti kehabisan akal, pemerintah menerbitkan lagi PKE XVI pada 16 November yang lalu.
Kali ini, PKE XVI dibuat sedemikian radikal dan sekaligus liar. PKE XVI seolah-olah mengobral investasi di Indonesia kepada pihak asing. Fasilitas tax holidays diperluas ke berbagai sektor industri dan sektor usaha yang sebenarnya tidak membutuhkan investor asing dengan membuka (relaksasi) Daftar Negatif Investasi (DNI) hingga mencapai 54 sektor usaha, termasuk sektor UMKM, Koperasi, Jasa Warnet, Industri Rokok, dan lain-lain. Tax holidays juga diperluas untuk industri pengolahan berbasis hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan.
PKE XVI ini sangat tidak masuk akal alias absurd.Pertama, Tax Holidays seharusnya diberikan untuk industri tertentu yang dirasakan sangat penting bagi perekonomian nasional tetapi sulit mendapatkan investor karena modal yang diperlukan sangat besar dan mempunyai risiko usaha relatif tinggi.
Misalnya, industri smelter, petrokimia, industri alat berat, mobil, truk, dan sebagainya. Tax Holidays seharusnya diposisikan untuk membuat Indonesia menjadi basis produksi dunia seperti China. Tetapi, PKE XVI malah mengatur investasi asing kecil-kecilan, dengan modal Rp10 miliar sudah bisa bersaing dengan pengusaha lokal di sektor-sektor kecil.
Kedua, PKE XVI gagal paham atas permasalahan perekonomian nasional dengan memberi stimulus investasi dan produksi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal, permasalahan ekonomi Indonesia saat ini adalah di sisi permintaan aatau konsumsi yang masih rendah.
Banyak industri yang masih kelebihan kapasitas (over-capacity) dan kelebihan produksi (over-supply). Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2018 dari sisi produksi sebesar 5,17 persen, tetapi dari sisi konsumsi hanya 4,41 persen saja.
Artinya, ada produksi yang tidak terserap oleh pasar (konsumsi). Bahkan, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2018 lebih parah lagi. Pertumbuhan produksi sebesar 5,27 persen, tetapi pertumbuhan konsumsi hanya 3,90 persen saja! Oleh karena itu, memberi stimulus investasi melalui Tax Holidays dan relaksasi DNI akan sia-sia saja, kecuali untuk ekspor.
Tetapi, untuk jasa warnet, misalnya, apa yang mau diekspor?Menimbang permasalahan ekonomi kita dewasa ini, saya perkirakan investasi secara keseluruhan tidak akan naik signifikan. Tetapi jumlah perusahaan yang menikmati Tax Holidays akan bertambah dan penerimaan pajak (tax ratio) akan anjlok.
Di samping itu, untuk jangka waktu menengah, defisit transaksi berjalan akan semakin membesar karena ‘pendapatan primer’ yang menyumbang defisit terbesar pada neraca transaksi berjalan akan semakin membesar akibat penarikan investasi asing ini (apabila berhasil).
Artinya, PKE yang salah satu sasarannya adalah menarik dolar untuk memperkuat necara transaksi berjalan dan kurs rupiah malah akan menjadi bumerang, defisit transaksi berjalan akan melebar dan kurs rupiah akan tertekan dalam jangka waktu menengah.
Untuk mengurangi defisit transaksi berjalan pemerintah seharusnya meningkatkan ekspor (atau investasi berbasis ekspor), mengurangi impor (atau investasi untuk mengurang impor) dan mengurangi pembayaran (‘pendapatan primer’) ke luar negeri (atau mengurangi investasi asing yang pendapatannya diperoleh dari dalam negeri seperti jala tol atau listrik