Oleh : Lukman Hakum Piliang (Dosen Administrasi Publik Prof Dr Moestopo)
Ketika kita flash back ke zaman Orde Baru, desa saat itu tidak boleh dimasuki oleh politik secara langsung. Tetapi, himbauan itu menjadi kontradiktif ketika malahan praktik politik istana sendiri yang masuk ke dalam desa. Mereka masuk menggunakan Golongan Karya (Golkar) sebagai kendaaraannya, dengan menggunakan program-program kelompok tani, dan sebagainya.
Di masa itu, partai politik dilarang masuk ke desa. Padahal, politik sudah seharusnya masuk sampai ke dalam rana desa. Sebab, keputusan-keputusan tentang masa depan dan kesejahteraan desa itu harus melalui keputusan politik. Politik itu harus berideologi. Tetapi realita pembatasan politik itulah yang selama 32 tahun masa Orde Baru dimainkan. Desa hanya menjadi obyek eksploitasi, tanpa diberikan akses politik.
Untuk itu, politik harus masuk sampai ke desa, sehingga masyarakat desa tidak dibodohkan dan mampu untuk memikirkan masa depannya sendiri. Maka bagi saya, sah-sah saja ketika partai politik masuk sampai pada tataran desa, karena hal itu memang sudah seharusnya dilakukan. Selama ini hanya negara sendiri yang mengambil keputusan, tanpa melibatkan desa. Hal ini yang semestinya didobrak.
Pada Pilpres 2019, desa tetap menjadi trend politik yang kuat. Populasi masyarakat desa memang tidak sebanyak masyarakat perkotaan. Tetapi desa memiliki kekayaan sumber daya alam, sehingga hal ini sangat penting untuk kepentingan ekonomi, politik, dan sebagainya.
Sampai sekarang tidak ada pikiran di tingkatan elite untuk meninggalkan desa. Mereka selalu memikirkan cara untuk tetap mendapat simpati dengan meningkatkan pengembangannya. Lagipula, desa sudah menjadi program kerja dari pemerintah sekarang, sehingga ini akan menjadi program lanjutan untuk pemerintahan mendatang. Untuk itu, isu desa tidak perlu diumbar keluar, sebab telah menjadi program kerja yang tetap.
Tinggal bagaimana kita melihat keberpihakan Prabowo untuk melihat isu desa. Sebab program kerjanya sekarang, seperti HKTI pun belum memiliki kerja yang konkrit. Mereka tidak pernah berbicara tentang bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani di desa, tetapi lebih memfokuskan pada harga beras yang rendah.
Memang tidak dapat dipungkiri, pemerintah sekarang belum dapat menjalankan misi desa dengan baik. Menteri dalam kabinet cenderung tidak memahami mandat dari undang-undang tersebut, padahal mandat itu sebenarnya sejalan dengan keinginnan Jokowi untuk membangun desa agar tidak tertinggal dan tereksploitasi, baik secara politik maupun secara ekonomi.
Ironisnya, kesalahan dalam implementasi undang- undang desa seringkali dituding pemerintah melalui menteri terkait sebagai kesalahan desa dengan segala kekurangannya, mulai dari perangkat desa sampai kepada kepala desa. Padahal, desa adalah wilayah yang juga menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk dibina dan dikembangkan.
Korupsi yang terjadi di desa merupakan indikasi ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi peluang buruk dalam praktik implementasi undang-undang desa. Tinggal bagaimana dapat dibuatkan aturan untuk mengamankan anggaran. Karena problematikanya adalah SDM di tingkatan desa itu sangat rendah dan tidak merata, maka pelaporan keuangannya akan menjadi berbeda, menjadi disclaimer dan sebagainya. Model pelaporan negara yang baku dan sistematis itu perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada di tingkatan desa.
Di sisi lain, masih ada perdebatan di tingkatan akademisi untuk mendesain desa, apakah dikembalikan kepada desa adat atau desa menjadi bagian dari pemerintah itu sendiri. Ketika desa dikembalikan kepada konsep desa adat maka desa akan mengelolah rumah tangganya sendiri berdasarkan kearifan lokal yang ada. Tetapi yang ada pada UU Nomor 6 Tahun 2014 itu, desa seakan dimaknai sebagai bagian terkecil dari pemerintah. Padahal hakikat desa sendri adalah induk dari sebuah negara, karena negara sendiri terbentuk karena adanya desa.
Jadi, isu desa tetap ada pada Pilpres 2019. Hanya saja isu itu bergerak, bukan lagi pada tahap teritorial dan administrasi desa, melainkan pengembangan desa dengan potensi-potensinya dengan tetap melihat kekurangannya. Maka bukan isu desa lagi yang diangkat, tetapi lebih diperluas , dengan konten yang tetap sama yakni desa. Karena desa sebagai wilayah admninistrasi sudah dibuatkan aturan dan sudah dianggarkan. Secara tersirat isu tentang desa masih akan tetap dimainkan pada visi-misi Pilpres.
Selain itu, isu pengembangan desa juga bergerak lebih kepada jalur koordinasinya. Karena permasalahan desa sekarang adalah terpotongnya jalur-jalur koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Selama ini, malah pemerintah daerah yang mengeksploitasi desa. Untuk itu, kita perlu melakukan pembenahan pada tingkatan pemerintah daerah agar tupoksinya dalam mengkoordinasikan desa- desa tetap berjalan.