Mega skandal pertama adalah bailout Bank Century. Pada kasus ini, Sri harusnya jadi tersangka. Pasalnya, sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KSSK) dia yang memutuskan pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJB) kepada Bank Century. Saat bailout terjadi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang berada di Washington DC. Posisinya ketika itu digantikan Wapres Jusuf Kalla sebagai Presiden ad interim.
Meledaknya kasus Bank Century memang cukup mengguncang. DPR bahkan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi. Laporan resmi Pansus Hak Angket Bank Century DPR yang dibacakan Maret 2010, menyatakan telah terjadi penyalahgunaan kewenangan yang melibatkan Sri dan Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia (BI).
Juga disebutkan patut diduga telah terjadi penyimpangan dalam proses pengambilan kebijakan oleh otoriter moneter dan fiskal. Bukan hanya itu, penyimpangan juga terjadi ketika pelaksanaan kebijakan dijalankan.Tidak tanggung-tanggung, akibat megaskandal itu negara dirugikan Rp6,7 triliun.
Diselamatkan Bank Dunia?
Tapi, seperti kita ketahui, proses persidangan megakorupsi ini hanya menyentuh para operator di lapangan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan selaku Deputi Gubernur BI Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya sebagai tersangka. Status serupa juga dilekatkan kepada Deputi Gubernur BI Bidang VI Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah Siti Chalimah Fadjrijah. Hakim telah mengganjar Budi dengan vonis penjara. Sedangkan Siti meninggal dunia dalam perjalanan proses hukumnya.
Sementara itu, dua aktor utamanya, yaitu Boediono dan Sri justru masih bebas, melenggang di luar jeruji besi. Sri bahkan sempat diselamatkan majikan asingnya, yaitu Bank Dunia, menjadi salah satu petinggi institusi keuangan internasional itu sebagai managing director. KPK memang sempat menyambangi Sri di markas besar World Bank di Washington DC, akhir April 2013. Tapi, setelah itu pemeriksaan terhadapnya menguap tak jelas kelanjutannya. Sri (dan juga Boediono) memang sakti mandraguna.
Banyak pihak yakin pengangkatan Sri sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia adalah bagian dari skenario dan campur tangan asing untuk menyelamatkannya. Sejatinya, langkah ini merupakan intervensi asing kepada proses hukum di Indonesia sebagai negara berdaulat. Pasalnya, pengangkatan Sri terjadi pada saat proses hukum terhadap dia tengah berlangsung. Tragis. Tanpa intervensi Bank Dunia, sangat boleh jadi Sri sudah mendekam di balik jeruji besi.
Yang lebih tragisnya lagi, Presiden SBy justru manyatakan bangga menterinya diangkat jadi petinggi di lembaga bergengsi dunia. Sebagai Presiden negara berdaulat, seharusnya dia marah atas intervensi asing itu. Aneh!
Bukan hal ajaib bila tangan-tangan asing sangat berkepentingan menyelamatkan Sri dari jerat hukum skandal Bank Century. Pasalnya, dia terbukti sangat dermawan kepada investor asing dalam hal mengobral obligasi berbunga supermahal. Para investor asing tadi meraup keuntungan puluhan miliar dolar dari sejumlah obligasi yang diterbitkan Indonesia saat Sri menjadi Menkeu. Jadi, itung-itung sebagai balas jasa. Begitulah.
Restu Ketua KKSK
Megaskandal kedua yang membelit perempuan yang dipoles media mainstream sebagai ‘Superwoman’ itu adalah, kasus penjualan asset-aset Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BDNI), manajamen bank milik Sjamsul Nursalim itu harus menyerahkan asetnya kepada Pemerintah.
Adalah Rizal Ramli, Menko Ekuin sekaligus Ketua KKSK era Presiden Gus Dur yang mengungkap dugaan kuat terlibatnya Sri dalam penjualan asset-aset BDNI. Saat hadir sebagai saksi ahli pada sidang tindak pidana korupsi (Tipikior) dengan tersangka mantan Ketua Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Sjafruddin Temenggung pekan silam di Jakarta, dia mengatakan aset BDNI yang diserahkan BPPN kepada Kementerian Keuangan pada 2005 senilai Rp4,5 triliun. Namun anehnya dua tahun kemudian selaku Menkeu Sri menjual aset tersebut hanya seharga Rp200 miliar. Akibatnya negara dirugikan Rp4 triliun lebih.
Syafruddin didakwa merugikan negara Rp4,5 triliun dalam penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI. Dia juga dituduh memperkaya pemilik saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim, melalui penerbitan SKL. SKL itu dikeluarkan Syafruddin berdasarkan Inpres 8/2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dia disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Di sisi lain, Rizal Ramli menegaskan, ketua BPPN tidak mungkin mengambil keputusan sangat penting tanpa sepengetahuan dan izin dari atasannya, dalam hal ini adalah Menkeu yang juga Ketua KKSK. Sebagai doktor ekonomi yang dianggap moncer, mustahil Sri tidak bisa menghitung dahsyatnya kerugian negara akibat obral asset secara gila-gilaan tersebut. Kerugian negara dalam skandal penjualan aset BDNI sangat besar, mencapai lebih dari Rp4 trilliun. Atau, mungkinkah pada kasus ini bukan cuma restu dari ketua KKSK? Untuk itu, lanjut pria yang akrab disapa RR itu, sudah seharusnya KPK mendalami keterlibatan Sri dalam megaskandal ini.
Namun seperti disebut di awal tulisan ini, Sri tampaknya memang sakti mandraguna. Hingga hari ini, KPK belum memanggil dia, minimal sebagai saksi, dalam kasus rasuah superjumbo ini. Entah apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Mungkinkah ada invisible hands yang cawe-cawe? Yang terjadi, justru aroma gerakan memoles, menteri penganut dan pejuang neolib yang banyak merugikan bangsa dan rakyat indonesia itu di media mainstream, sebagai cawapres pendamping Jokowi begitu menyengat.
Sampai kapan hukum menjadi barang mainan para elit di pusat-pusat lingkaran kekuasaan? Benarkah Sri sungguh-sungguh sakti mandraguna? Tapi satu hal yang pasti, pepatah Jawa mengatakan, Gusti Allah mboten sare!
*) Oleh Edy Mulyadi, Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)