Esensinews.com – Purnomo, lengkapnya Purnomo Muhammad Yudhi, adalah pria asal Purwokerto, Jawa Tengah. Pria kelahiran 12 Juli 1962 itu, mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia.
Selain menjadi manusia tercepat di Asia menyusul pencapaian prestasinya — medali emas Kejuaraan Atletik Asia Jakarta 1985– anak petani ini lolos ke semifinal nomor lari 100 meter Olimpiade Los Angeles 1984.
Dalam perempat final lomba lari pesta olahraga bangsa-bangsa di dunia itu, Purnomo –di seri keempat babak perempat final itu– bercokol di posisi ketiga. Posisi pertama diraih Ray Stewart (Jamaika) dan Allan Wells (Inggris) pemegang medali emas Olimpiade sebelumnya.
Ini bukan hanya pencapaian bagi seorang pelari Purnomo. Namun, suami dari RAy Endang Irmastiwi dan ayah dari empat orang anak itu, menjadi sprinter Asia pertama yang tampil di semifinal Olimpiade.
Purnomo Yudhi bersama para mantan bintang olahraga Indonesia. Yustejo Tarik (tenis/kanan), Luciana Tarorreh (bola voli/kiri), Nurfitriyana (panahan/dua dari kiri) dan Gugi Bustaman (bolavoli) belakang./Dok.pribadi – facebook
Menurut wartawan senior olahraga almarhum Sumohadi Marsis catatan waktunya lebih baik dibanding Allan Wells, juara Olimpiade untuk nomor itu empat tahun lalu di Moskow. Wells, dari Inggris, hanya mencatat 10,71 detik untuk menjadi juru kunci dalam semifinal yang diikuti 16 peserta dalam dua seri.
Sudah bisa mengalahkan Allan Wells, misalnya, apalagi cuma Sumeth Promna dari Thailand atau pelari-pelari Asia lainnya, merupakan modal amat berharga bagi pemuda desa yang lugu ini untuk menanjak lebih tinggi.
Mantan sprinter 100 meter andalan Indonesia, Purnomo Muhammad Yudhi, yang pada 2010 terpilih menjadi ketua Indonesia Olympian Assosiation (IOA), sosok pekerja keras. Itu diperlihatkan dan dibuktikan saat dia berproses menjadi yang terbaik di lintasan atletik, di Indonesia dan dunia.
Baginya, tekad keras dalam proses menuju sukses, lebih penting dari hal lainnya. Itu mengapa, dalam perjalanan karirnya, dia tidak mempersoalkan seperti apa dirinya.
Karena itu, dalam proses menuju puncak karir yakni sebagai juara– dia jalani meski bak meniti jalan terjal menuju puncak. Setiap hari, dia berlatih mulai jam 05.00 pagi hingga 06.30. Lalu ke sekolah naik angkot lalu berlatih kembali pada pukul 15.00, sepulang sekolah.
Hingga dia pun tak peduli meskipun mengikuti kejuaraan atletik antar pelajar pertama kali saat kelas 3 SMA, dia berlomba dengan hanya hanya mengenakan kaos kaki karena tak mampu membeli sepatu.
Namun, ketika disinggung dirinya adalah legenda atletik Indonesia dan mantan manusia tercepat di Asia, dia tersenyum dan bahkan agak tertawa, tetapi sosoknya yang rendah hati, tetap terlihat. ” Itu hanya masa lalu,” katanya, dalam bincang-bincang dengan penulis di media sosial miliknya. “[Namun] ya lumayan jadi punya bahan cerita buat anak-anak.”
Hanya saja, sikap pemerintah dalam menyikapi terhadap para atlet berprestasi, cenderung tidak menjadi stimulus untuk melahirkan para jawara baru di olahraga.
“Benar kata orang pintar: Habis manis sepah dibuang…eeee… Ternyata saya mengalami juga pepatah itu . Ha… ha… ha …. ” Tentu, apa bentuk nyata dari habis manis sepah dibuang, hanya Purnomo dan pemerintah yang tahu.
Sumber : Bisnis.com