Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Biaya proyek kereta cepat Jakarta Bandung membengkak. Awalnya sekitar 6 miliar dolar AS. Kemudian dilaporkan ada pembengkakan biaya sebesar 1,9 miliar dolar AS, atau sekitar Rp28,5 triliun, membuat biaya proyek kereta cepat menjadi 7,9 miliar dolar AS.
Kemudian, melalui audit BPKP, ditetapkan biaya proyek membengkak ‘hanya’ 1,176 miliar dolar AS atau sekitar Rp16,8 triliun. Kemudian, pembengkakan biaya ini dikoreksi menjadi 1,4 miliar AS atau sekitar Rp21,6 triliun.
Masalahnya, nilai pembengkakan biaya kereta cepat ini sudah dalam tahap yang tidak normal. Sangat besar sekali. Mencapai lebih dari 20 persen dari nilai proyek.
Menurut pengakuan pemerintah, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, salah satu alasan terjadi pembengkakan biaya *karena perhitungan dari pihak China meleset.*
Pengakuan ini bisa menjadi bukti sudah terjadi kerugian keuangan negara.
Karena ada beberapa komponen biaya yang tidak dimasukkan di dalam perhitungan awal tender. Kalau komponen biaya tersebut masuk ke dalam perhitungan, maka biaya proyek akan lebih besar. Bukan lagi 6 miliar dolar AS, tetapi jauh lebih besar dari itu.
Dan bisa jauh lebih besar dari biaya proyek yang ditawarkan oleh Jepang yang sebesar 6,2 miliar dolar AS. Sehingga merugikan keuangan negara.
Karena itu, biaya yang awalnya seharusnya ada, tetapi ditiadakan untuk memenangi proyek, dan kemudian sekarang baru muncul lagi sebagai pembengkakan biaya, patut diduga sebagai manipulasi tender yang merugikan keuangan negara.
Kemudian, kedua adalah komponen bunga pinjaman. Biaya proyek kereta cepat menggunakan 75 persen pinjaman komersial dengan suku bunga 2 persen per tahun, dengan _grace period_ 10 tahun. Artinya, biaya bunga pinjaman kereta cepat per tahun mencapai 90 juta dolar AS (6 miliar dolar AS x 75 persen x 2 persen), atau 900 juta dolar AS selama 10 tahun _grace period._
Sedangkan Jepang menawarkan bunga pinjaman hanya 0,1 persen saja per tahun, atau hanya 1/20 dari bunga pinjaman China. Artinya, dengan nilai pinjaman yang sama, bunga pinjaman ke Jepang hanya 45 juta dolar AS selama 10 tahun _grace period_ (6 miliar dolar AS x 75 persen x 0,1 persen x 10 tahun).
Dengan demikian, selisih pembayaran bunga kepada China versus kepada Jepang lebih mahal 855 juta dolar AS selama 10 tahun. Jumlah ini jauh lebih besar dari selisih nilai proyek yang hanya sekitar 200 juta dolar AS saja.
Maka itu, komponen biaya bunga juga merupakan kerugian keuangan negara yang jelas dan nyata, yang seharusnya masuk dalam komponen biaya proyek ketika mengevaluasi penawaran tender.
Meskipun kerugian negara ini nampaknya sudah jelas dan nyata, tetapi semua pihak yang berwenang mengawasi pemerintah dan keuangan negara, seperti DPR, KPK, kepolisian dan kejaksaan ternyata diam saja.
Diamnya DPR dapat dianggap sebagai indikasi bekerja sama turut menciptakan kerugian keuangan negara. Maka itu, harus bertanggung jawab, tidak boleh lepas tangan begitu saja.