Oleh : Manuel Mawengkang .
Acara Mata Najwa malam ini adalah acara yang dikuasai oleh Yenny Wahid. Orang ini benar-benar objektif, membawa nama besar NU dengan baik.
Ia menjaga marwah NU dengan luar biasa. Ia netral. Tapi sesekalinya ketika PKS dan Demokrat ramai-ramai membual tidak ingin menggunakan isu SARA, Yenny Wahid muncul dan mendadak berang! Apa yang ia katakan?
Ia menghardik PKS dan Demokrat! Ia menyebut bahwa “PKS YANG MEMULAI ISU SARA, YA SEKARANG TANGGUNG JAWAB!”
Kader PKS mendadak ciut, sunyi dan bungkam. Demokrat pun tidak bisa berbuat banyak untuk menolong kader PKS yang terkapar dibogem oleh Yenny Wahid. Mari kita tunggu bagaimana respons PKS. Apakah mereka mulai menyasar Yenny Wahid?
Jawaban itu sontak menjadi jawaban yang membuat Ferdinand Hutahaean kader Demokrat dan kader PKS yang penulis tidak tahu namanya dan tidak perduli juga, ternganga. PKS dan Demokrat ternganga, terkaget-kaget melihat jawaban dari kader NU yang tulen itu.
Teriakan Yenny Wahid adalah teriakan dari mayoritas warga. Najwa Shihab pun terlihat begitu kaget dan tidak menduga apa yang diucapkan Yenny Wahid itu membangkitkan semangat dan amarah warga yang selama ini terpendam dan tidak berani diucapkan.
Yenny Wahid adalah woman of the match dari acara Mata Najwa. Bukan Demokrat, bukan Ferdinand. Bukan PKS, bukan saudaranya Mardani itu. Bukan Gus Rommy dalam kapasitasnya sebagai ketua umum PPP. Yenny Wahid membawa nama ayahnya, Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid.
Yenny Wahid hidup di dalam pendidikan keluarga Gus Dur yang begitu Islami, sekaligus begitu plural. Hanya mereka yang kadar keimanan dan keagamaanya tinggi, bisa menjadi orang yang menjunjung tinggi Pluralisme. Maka benarlah yang dikatakan oleh seorang ulama, bahwa pluralisme adalah bentuk religiositas tertinggi dalam kehidupan beragama.
Menjaga pluralisme adalah sebuah ibadah. Keberagaman di dalam Indonesia itu begitu banyak. Bahkan di dalam satu agama pun memiliki banyak aliran. Isu SARA adalah isu yang mudah sekali digoreng. Maka untuk kesatuan bangsa dan negara, perpecahan itu harus dihindarkan Isu SARA harus dihindarkan.
Bahkan hal ini menjadi sebuah ancaman bagi warga Jakarta. Kita tahu bahwa di Jakarta, sempat terjadi penggorengan isu SARA. Jakarta sempat begitu kelam. Jakarta sempat menjadi kota yang paling intoleran pada pilkada lalu. Ini menjadi sebuah bagian yang paling menjijikkan di dalam sejarah pemilu di Indonesia.
Indonesia begitu suram karena pendukung Anies yang diusung PKS dan Gerindra, menggunakan isu SARA. Bahkan mayat dan ayat pun dipakai untuk mengancam para pemilih Ahok.
Bayangkan lagi, seorang Haji Djarot Saiful Hidayat, seorang muslim taat, bisa-bisanya diusir oleh pendukung Anies dari masjid. Ini menggelikan.
Dari kasus permainan isu SARA inilah, teriakan Yenny Wahid membuncah, membakar dan menyemangati para penonton di studio Mata Najwa. Yenny Wahid dengan berani mengatakan bahwa PKS yang memulai isu SARA. Mereka harus tanggung jawab.
Tidak ada yang perlu ditoleransi atas aksi intoleransi ini!
Kita tidak boleh menjadi orang yang toleran dengan aksi intoleransi. Jika kita toleran terhadap aksi intoleransi, maka kita harus sadar bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita kompromikan.
Yenny Wahid membukakan fakta bahwa PKS adalah pemain itu SARA. Ini jelas dan tidak perlu ditafsir jauh. Anak dari seorang Gus Dur yang begitu toleran, sama sekali intoleran terhadap aksi intoleransi. Maka mau katakan Yenny Wahid adalah orang yang intoleran? Silakan.
Penulis setuju dengan pendirian Yenny Wahid yang memilih untuk berseberangan dengan PKS. Yenny intoleran terhadap penggunaan isu SARA yang digunakan PKS.
Akan tetapi PKS dan Gerindra masih saja berkelit. Bahkan mereka mengatakan bahwa hal itu adalah “takdir” . Takdir palelu peang!
Itu bukan takdir! Itu tragedi! Penggunaan isu SARA masih terasa dampaknya sampai sekarang. Yenny Wahid akhirnya memberanikan diri untuk menjadi sosok yang meneriakkan dan menegur keras, sampai harus menghardik PKS.
Kader PKS hanya diam saja dan ternganga. Dia tidak bisa membantah. Karena memang apa yang Yenny Wahid katakan itu benar.
Jakarta sempat menjadi tempat terjadinya tragedi penggunaan isu SARA. Kalau bicara komitmen, jangan bicara dulu. Buktikan dahulu.
Bukankah Sandiaga Uno masih menebeng isu SARA? Ada surat kabar Riau yang mengatakan Sandiaga itu putra Riau.
Ada juga yang sebut Sandiaga putra Gorontalo. Ada lagi yang sebut Sandiaga berdarah Bugis. Woi. 1 Triliun pun tidak bisa membeli tempat asal.
Masih mau bicara tidak main isu SARA? Penulis ada di sisi Yenny Wahid dan Joko Widodo.
Begitulah sara-sara.