Di kota itulah dulu Zia Ul Haq sebagai perwira muda yang menjadi komandan salah satu pasukan elit Inggris, Ghurka, terlibat dalam pertempuran 10 November 1945.
Di sela-sela pertempuran kala itu Zia tersontak menyaksikan heroisme para santri dari berbagai penjuru pesantren bersama pasukan TNI menerjang tentara Sekutu (Inggris, Australia, dan Belanda yang membonceng) yang mencoba menduduki kota Surabaya.
Hati Zia luruh tatkala menyaksikan ratusan santri yang berbekal senjata bambu runcing, berpakaian seadanya dan tanpa alas kaki, memekikkan kata Allahu Akbar, sambil bergerak melakukan perlawanan dengan mengorbankan darah dan nyawa secara heroik.
Kala itu ia tertegun dan menyadari bahwa ternyata yang sedang dihadapi dalam pertempuran itu adalah saudara-saudaranya sendiri, yaitu sesama Muslim. Seperti halnya ia dan pasukannya juga merupakan kaum Muslimin.
Akhirnya seringkali di tengah gencatan senjata apabila kumandang azan bergema dari masjid-masjid, para tentara Gurkha yang dipimpinnya melakukan shalat berjamaah bersama para santri dan warga lokal.
Memori yang sangat menyentuh hatinya ini ternyata tiada pernah hilang dari layar ingatan Zia Ul Haq.
Tetapi siapakah tokoh yang menjadi penggerak perlawanan para santri ini, sehingga tentara Sekutu yang merupakan jagoan Perang Dunia Kedua itu tumpas dan terusir dari Surabaya. Bahkan menewaskan satu jenderal Inggris, Aubertin Mallaby?
Selain Hardatussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan penggagas Resolusi Jihad 10 November 1945, terdapat pula nama tokoh lainnya yang tak kalah penting, yaitu KH Abdullah Abbas, seorang ulama besar dan pengasuh pondok pesantren ternama, Buntet, Cirebon, Jawa Barat, yang merupakan Panglima Perang bagi para santri dalam peristiwa heroik 10 November 1945 di kota Surabaya itu.
Di makam ulama yang sangat berwibawa inilah, yaitu di areal Maqbaroh Gajah Ngambung, Buntet, Cirebon, hari Minggu kemarin (27/2), tokoh nasional Dr Rizal Ramli di sela-sela kesibukannya menyempatkan diri untuk bertafakur dan memanjatkan doa untuk tokoh yang sangat dikaguminya itu.
Rizal Ramli yang memiliki pertalian batin yang erat dengan kaum Nahdliyin dan merupakan murid ideologis Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu menaruh hormat dan takzim kepada para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang telah berjasa kepada kemerdekaan bangsa dan negeri ini, sehingga nalurinya kerap menuntun untuk selalu menziarahi makam para tokoh patriot NU setiapkali berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah-daerah.
Penghormatan dengan menziarahi makam ulama NU seperti yang dilakukan oleh Rizal Ramli ini sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di kalangan kaum Nahdliyin, yang tak jarang dilakukan oleh Rizal Ramli bersama-sama warga masyarakat biasa, seperti halnya hari Minggu kemarin.
Sudah pula menjadi kebiasaan bagi Rizal Ramli setiapkali melakukan kunjungan ke daerah ia berinteraksi dengan masyarakat setempat. Mulai dari menggelar obrolan ringan hingga menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai situasi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakannya secara sederhana.
Yang menarik dalam obrolan di sebuah ke kedai kuliner sehabis berziarah, seorang warga Cirebon bernama Hayat menumpahkan uneg-unegnya tentang adanya wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang mendapatkan dukungan dari sejumlah ketua umum partai politik, di antaranya dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Usulan dan dukungan seperti itu baginya sangat bertolak belakang dengan upaya menegakkan demokrasi yang diamanatkan oleh konstitusi.
Sehingga katanya kelakuan politisi seperti itu dalam bahasa Cirebon disebut degol. Artinya tidak waras. Berbeda dengan yang terjadi di era pemerintahan Presiden Gus Dur dimana demokrasi benar-benar dijaga dan ditegakkan.