Oleh : Prof Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS _@RosyidCollegeOfArts_
Persetujuan DPR atas RUU IKN adalah daftar terbaru praktek-praktek demokrasi sontoloyo. Kesontoloyoan itu dimulai sejak UUD45 diobrak-abrik secara ugal-ugalan menjadi UUD2002. Misi pokok amandemen itu adalah agar *sistem MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dihancurkan melalui sistem pilpres dan pilkada langsung*. Secara perlahan tapi pasti keterpilihan menggusur keterwakilan. Keterwakilan itu makin hilang saat melalui serangkaian UU Politik, tatacara pemilihan eksekutif itu semuanya diatur oleh partai politik. Suara rakyat hanya sampai di bilik suara Pemilu, tidak pernah sampai ke parlemen.
Dengan cara itulah kedaulatan rakyat dirampas, dan demokrasi dibajak oleh partai politik. Para cukong tahu lalu segera membeli saham partai politik itu. Partai politik di negeri ini adalah satuan yang melakukan jual beli kepentingan politik bernilai triliunan Rupiah. Akhirnya partai politik pun bisa dikendalikan untuk melayani kepentingan cukong, bukan konstituen partai politik itu. Jadilah oligarki. _No more no less_. Katanya mau meniru AS sebagai kampiun demokrasi, tapi kultur partai politik di negeri ini belum memenuhi syarat bagi demokrasi ala AS itu.
Benar jika dikatakan prof. Noam Chomsky bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah partai politik -bukan Al Qaeda, atau ISIS, apalagi HTI atau FPI- yaitu Partai Republik AS. Di sini dulu PKI, lalu kemudian Golkar. PKI telah dibubarkan, Golkas pernah nyaris dibubarkan segera setelah reformasi namun berhasil bermetamorfosis menjadi Demokrat, Hanura dan Gerindra. Pasca reformasi, saat ini mungkin PDIP sebagai _the ruling party_ adalah parpol yang paling berperan dalam pembajakan demokrasi. Sebuah paradoks dengan namanya sendiri.
Demokrasi mensyaratkan bahwa pemerintah mengatur urusan publik _with the consent of the governed_. Tapi rezim oligarki saat ini dengan enteng mengabaikan _consent of the governed_ itu. Hak-hak politik rakyat ditransfer habis di bilik-bilik suara, langsung ke partai politik tapi tidak pernah di bawa ke parlemen. Anggota parlemen tidak mungkin bersuara lain selain suara partai yang sudah diatur oleh cukong. Pergantian Antar Waktu adalah intimidasi paling menakutkan bagi pemulung politik yang mencari sesuap nasi dari kedudukannya di parlemen. Secara praktis, para anggota parlemen itu tidak mampu mewakili konstituennya lagi.
Tiga agenda reformasi, yaitu pemberantasan korupsi, demokratisasi dan desentralisasi, kini tinggal omong kosong. Rezim saat ini, justru memanfaatkan pandemi untuk memperlemah agenda reformasi itu. Niyat memeratakan pembangunan diwujudkan dengan memindahkan IKN ke Kaltim, tapi otonomi daerah justru konsisten dilemahkan, lalu terus membajak demokrasi dan membiarkan korupsi terselubung melalui maladministrasi publik.