Indonesia mewacanakan untuk memberi Tax Amnesty jilid 2, yang akan berlaku tahun 2022. Padahal, pemerintah baru memberi pengampunan pajak jilid 1 pada 2016/2017.
Menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), hal ini sungguh aneh dan mencurigakan.
“Kenapa pemerintah rajin mengobral pengampunan pajak? Apakah rencana pengampunan pajak ini ada hubungannya dengan Pandora Papers, agar uang illegal menjadi legal? Alias untuk pencucian uang. Hal ini patut dicurigai,” ujar dia di Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Sedangkan bagi nama yang disebut di Pandora Papers, seperti Airlangga Hartarto, Luhut Binsar Panjaitan, Gautama Hartarto, atau Keluarga Ciputra, belum tentu bersalah.
“Tetapi, mau tidak mau, publik sudah menghakimi mereka sebagai penyelundup pajak, sebagai pemilik uang ilegal,” lanjutnya.
Demi keadilan bagi mereka, pemerintah harus menyelidiki. Apakah benar ada penyelundupan pajak.
“Apakah benar kekayaan di Pandora Papers berasal dari uang ilegal, misalnya dari pandemi corona? Kalau semua bersih, pemerintah wajib membersihkan nama mereka,” Anthony menambahkan.
Sebaliknya, kalau bersalah, kalau uang tersebut adalah bagian dari uang ilegal, dari uang pandemi corona, maka para pihak yang disebut dalam Pandora Papers harus dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Polisi, jaksa, KPK atau Direktorat Pajak harus segera membuka penyelidikan ini.
“Sementara itu, rencana Tax Amnesty jilid 2 harus ditunda. Atau tepatnya dibatalkan. Karena sesungguhnya Tax Amnesty tidak diperlukan. Kecuali bagi mereka yang mempunyai penghasilan ilegal. Atau bagi mereka yang menggelapkan pajak,” jelasnya.
Untuk itu, DPR harus tegas. DPR wajib membatalkan Tax Amnesty. Jangan sampai DPR dan parlemen yang terhormat mempunyai citra sebagai pendukung kriminal pajak, atau pendukung pencucuian uang ilegal.
“Semoga DPR segera menjadi lembaga legistatif yang disegani: lembaga yang taat hukum dan lembaga pembuat hukum untuk kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan kriminal keuangan,” tandas Anthony.