Kekalahan pertama toleransi dan keberagaman terjadi ketika Ahok dipenjara.
Saya menempatkan terpilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden Jokowi sebagai kekalahan toleransi dan keberagaman yang kedua kali dalam kurun dua tahun sejak 2016.
Ma’ruf Amin sudah saya tahu sejak saya masih wartawan. Liputan pertama saya terkait fatwa haram liberalisme, pluralisme dan sekulerasime yang dikeluarkan oleh MUI, saat itu *Ma’ruf Amin sebagai ketua komisi fatwa*. Jadi, sudah jelas suasana kebatinan bapak ini seperti apa. Pasti alergilah sama topik toleransi karena pluralisme baginya itu haram oleh karena menurutnya itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Jabatan lain Ma’ruf Amin adalah sebagai Wakil Ketua Umum MUI dan Ketua Umum MUI periode 2015-2020:
Berikut daftar fatwa Haram MUI yang kontroversial:
1. Liberalisme, pluralisme dan sekulerisme (2005), Ma’ruf Amin sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. NU waktu itu menolak fatwa haram ini.
2. Jilbab (jilboobs) ketat ngga boleh (2014), Ma’ruf Amin sebagai Wakil Ketum MUI.
3. Masyarakat boleh tidak taati pemimpin yang bertentangan dengan agama (2015)
4. BPJS Kesehatan haram karena belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam (2015)
5. Larangan muslim menggunakan atribut Natal (2016)
6. MUI menyatakan ucapan Ahok mengandung penghinaan Alquran dan Ulama (2016)
7. MUI haramkan bunga bank (2003), Ma’ruf Amin sebagai Ketua Komisi Fatwa.
Jadi sodara-sodara, akibat fatwa MUI yang dipimpin Maruf Amin itulah maka lahir GNPF-MUI atau Gerakan Nasional Pendukung Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mendemo Ahok.
FPI lalu menunggangi GNPF-MUI. Begitu juga kubu yang ingin bersaing menuju kursi Gubernur Jakarta yakni Partai Demokrat. Pada saat sidang Ahok yang kesekian terungkap pernyataan pengacara Ahok yang mencium adanya konspirasi antara SBY dan Ketua MUI Maaruf Amin sehingga fatwa soal ucapan Ahok yang menghina Alquran dan ulama itu keluar.
MUI cuma lembaga buatan manusia tetapi sering terjebak kepentingan kelompok sehingga tokoh dari MUI rasanya kurang pas duduk sebagai calon wakil presiden, apalagi di tengah menguatnya intoleransi di Indonesia.
Apakah partai pendukung Jokowi tidak bisa memberikan masukan agar memilih orang dengan rekam jejak pro-toleransi dan keberagaman? Mahfud salah satu contoh orang itu.
Apakah demi merebut suara kubu oposisi yang doyan main isu agama maka Jokowi dan kubu koalisi rela mengorek luka para pecinta keberagaman dan toleransi?
Jika Jokowi beralasan Ma’ruf Amin itu adalah tokoh NU, kurang sepakat, sepak terjang dia di NU belum ada. Lagipula, btw, jumlah suara pemilih PKB tahun 2014 cuma 9%. Sebelumnya cuma 5%. Please deh, cuma 10% mentok-mentok yang milih PKB atau jika NU beri suara ke partai lain paling cuma nambah berapa persen sih untuk legislatif.
Sedangkan untuk Pilpres 2014, warga NU dan non NU yang pilih Jokowi di Jatim cuma 11 juta, beda tipis dengan pemilih Prabowo yang 10 juta. Artinya kontribusi suara NU terbagi pada dua kubu, main dua kaki untuk aman.
Saya ngga akan dukung kekuasaan jabatan presiden dan wapres yang cuma lima tahun, paling lama 10 tahun dengan mengorbankan toleransi dan keberagaman. Ini prinsip!
Saya kira, kali ini Jokowi keliru pilih strategi.
Oleh : Monique – R (Pendukung Jokowi)