Dentangnya yang bertalu itu terdengar oleh mereka yang ada di ladang dan hutan, maupun mereka yang ada di perbatasan pedukuhan.
Dentang itu datang dari sebuah kapel, istilah warga untuk gereja kecil, dengan nama Santo (ST) Lukas Kajoran. Kapel ini terletak di salah satu bukit terjal di bawah hutan jati, dan sekelilingnya pohon-pohon tinggi.
Lonceng itu tergantung di sudut kiri depan kapel. Lonceng memiliki diameter bawah sekitar 40 Cm. Bandulnya terikat tali yang tertambat pada tiang atap pelataran depan kapel.
Nenek itu memukul lonceng dua kali lantas diulang kembali sampai tiga kali. Suara genta jadi bertalu-talu.
“Saya membunyikan lonceng tiga kali sebagai peringatan bagi warga dusun bahwa ini jam sembahyang,” kata Toddea Wakiyah Wiryorejo (94), lansia yang memukulkan lonceng itu, Sabtu tengah hari. Semua percakapan itu berlangsung dalam bahasa Jawa.
Warga mengenalnya sebagai Mbah Wiryo. Nama itu berasal dari nama suaminya, Rafael Sudarno Wiryorejo (Rafael). Mbah Wiryo nenek dengan perawakan kurus, giginya habis, namun masih tegap berjalan sekalipun agak lamban dan tanpa tongkat yang menopang.Mbah Wiryo menceritakan, ia memukul genta setiap pukul 06.00, 12.00 dan 18.00. Suara lonceng merupakan ajakan untuk berdoa bagi umat Katolik di Kajoran.
Terdapat 47 kepala keluarga atau 157 umat Katolik pada lereng Kajoran tersebut. Di antara mereka bekerja di kebun, ladang maupun hutan.
Genta menjadi pengingat waktu untuk berdoa setiap waktu sekalipun berada di tengah kesibukan sepanjang hari.
“Sehari tiga kali dengan patokan jam, jam enam, jam 12 sing dan enam sore. Saat sore ketika sudah gelap. Tergantung terang atau sudah gelap,” kata Mbah Wiryo.
Mbah Wiryo merupakan generasi ketiga pemukul lonceng pada kapel ST Lukas Kajoran. Awalnya adalah Barnabas Sarikromo atau Sariman, mertuanya. Warga mengenal Barnabas sebagai pengajar katekisan Katolik.Sepeninggal Barnabas, Rafaael lah yang menggantikan. Mbah Wiryo mengatakan, suaminya meninggal sekitar tahun 1980-an. Sejak itu, ia yang mengganti memukul lonceng.
Ia sebenarnya juga sudah mulai ikut memukul lonceng sejak menikah dengan Rafael pada tahun 1940-an. Ini dilakukan saat Sudarno berhalangan memukul lonceng.
Mbah Wiryo adalah petani. Dulunya, ia menanam jagung dan ketela. Ladang dan kebunnya ada di balik bukit dan hutan. “Semua dilakukan jalan kaki,” katanya.
Meski berladang, ia tetap kembali ke rumah sebelum pukul 12.00. Ia pulang untuk membunyikan genta. “Setelah itu dirumah kerja apa saja,” kata Mbah Wiryo.
Lonceng Kapel Santo Lucas Kajoran terdapat tulisan huruf latin ejaan lama. Tulisannya sedikit pudar “Sembah Baktinipoen Aanah Djawi Oegi – Dewi Mariah”. Tulisan lain tampak pula di bawahnya namun lebih sulit terbaca. Sebuah relief kecil bentuk mirip Bunda Maria tampak pada dinding genta. Selain itu, ada tulisan tahun ‘1928’ pada badan genta.
Saat itu, berlangsung pembangunan tempat ziarah Sendangsono di Semagung, Kalurahan Banjaroya, pada 1929. Banyak perlengkapan didatangkan dari Belanda.
Mbah Wiryo menceritakan, lonceng termasuk di datangkan pula dari Belanda dan diterima oleh Barnabas. Umat Katolik lantas membawa lonceng dengan cara dipikul sampai rumah Barnabas di bukit.
Lonceng kemudian digantung pada pohon asam di depan rumah. Belum ada kapel ketika itu. Kegiatan ibadah dilakukan umat di rumah kayu berdinding gedhek yang bersebelahan dengan rumah Barnabas.
Kapel berdiri permanen sekitar tahun 1985. Lonceng lantas diturunkan dari pohon asam dan dipindahkan ke sudut kiri bangunan yang kini dinamai Kapel ST Lukas Kajoran. Kapel ini merupakan salah satu diantara 14 kapel di Paroki Santa Maria Lourdes Promasan.
Dalam perjalanan waktu, warga mengaku banyak terbantu oleh lonceng. Pasalnya, lonceng tidak hanya berguna sebagai penanda waktu berdoa bagi umat Katolik di Kajoran.
Lebih dari itu, bunyi lonceng menjadi alat memberitahu bahwa sebentar lagi waktu misa, berdoa, hingga pemberitahuan bagi umat bahwa ada yang meninggal dunia.
Banyak warga mengungkapkan bahwa itikad Mbah Wiryo bisa jadi teladan bagi warga Kajoran. Di usia senja masih setia membunyikan lonceng sebagai pengingat agar umat Katolik harus rajin berdoa.
“Hanya terkadang belum waktunya sudah dibunyikan. Umat memaklumi karena usia sudah lanjut,” kata Puji Susanto.
Warga lain mengungkap hal serupa, bahwa Mbah Wiryo telah menebar semangat sampai kini, bahkan di usia senja.
“Itu perjuangan agar umat lingkungan selalu semangat berdoa. Saya rasa niat dan perjuangan Mbah Wiryo ini hebat sekali, terlebih mengingat usia seperti dia masih semangat,” kata Paulus, warga setempat.
“Kondisi sepuh tapi setia bangun pagi siang sore meluangkan waktu untuk membunyikan lonceng. Mengingatkan warga untuk berdoa. Ini membuat haru,” kata Ketua Lingkungan Santo Lucas, Agustinus Sutrisno.
Sumber : Kompas.com