Oleh: Fandis Nggarang*)
Tak perlu larut dalam emosi karena mesti tahu diri, apa itu? Apakah ini adalah basa-basi semantik untuk mengatakan hal yang lebih jujur bahwa kita sebaiknya diam? Kok kalimat-kalimat Romo ini kian melanggengkan inferioritas ya? Terlarut dalam emosi, tentu tidak. Lagian ada ya awam Katolik yang masang dan turunkan baliho HRS, sehingga Romo begitu takut terhadap emosionalitas umat? Sungguh kalimat yang mengada-ada untuk mendukung argumentasi sebelumnya.
Tapi kenapa himbauan untuk tidak bersikap emosional malah dibangun di atas sikap tahu diri? Kenapa himbauan Romo untuk tidak bersikap seperti itu tidak dibangun dari sikap berani, namun tetap kritis? Artinya, saya memang tidak terlarut dalam emosi, namun itu tidak berarti bahwa saya kehilangan sikap berani dengan tetap kritis menyuarakan pendapat.
Karena Romo mengajak kita untuk tahu diri, rasanya Romo tidak hanya mengajak kita untuk tidak terlarut dalam emosi. Himbauan untuk tahu diri mendesak kita mundur jauh ke belakang hingga menyentuh titik minus, yaitu tidak bersuara sama sekali. Apalagi setelah itu, Romo mengajak kita untuk mensyukuri toleransi. Duh, rasanya bersyukur atas toleransi yang dilandasi oleh sikap tahu diri mendefinisikan kita sebagai warga kelas dua, Mo!
Secara implisit sedang mengatakan agar kita baiknya bersembunyi saja di balik NU dan Muhammadiyah? Sepertinya ini yang diinginkan Romo, suasana yang adem ayem, tetapi semu. Kalau toh Romo mengatakan bahwa kita mesti tahu diri karena fenomena HRS dan FPI adalah urusan dapur orang Islam, ini tentu lebih salah kaprah lagi, mengingat urusan HRS dan FPI tidak hanya terbatas pada persoalan core teologi.
Ketika demarkasi Agama dan Negara hancur, dimana interpretasi keagamaan a la HRS ingin mendikte urusan publik, masa kita diam karena mesti tahu diri, Mo? Romo, kasus toleransi itu boleh satu. Tapi kalau satu itu dibongkar, ada berapa kepala manusia yang dicekoki paham intoleran yang ada di dalamnya dan berapa kali paham intoleran itu beranak pinak dalam manusia yang juga bertumbuh kembang.
Apapun pembelaan yang muncul terkait tulisan Romo di Majalah Hidup dari orang yang menentangnya perlu dipikir-pikir lagi, karena tulisan Romo itu dibangun dari ajakan untuk “tahu diri”. Orang mungkin mengatakan bahwa yang dimaksud Romo itu adalah supaya kita tidak boleh berlebihan. Tetapi yang lain akan bertanya balik, mengapa motivasi agar tidak boleh berlebihan itu didasari oleh sikap tahu diri?
Tulisan Romo ini, sama seperti artikelnya di Kompas terkait TAP MPRS mengenai Komunisme, berpijak pada satu hal yaitu ketakutan. Barangkali Gereja Katolik harus merasa tahu diri (takut), sehingga perlu bungkam terhadap pembantaian, ya karena kita memang kecil dan perlu berlindung di balik simbol-simbol kuat. Tentu Romo memiliki legitimasi yang kuat untuk merasa takut mengingat Romo sudah hidup cukup lama dari generasi ke generasi di Indonesia disertai problem yang melilitnya.
Tapi kalau Romo takut, silahkan itu dibawa serta. Generasi muda tidak perlu membawanya. Kenapa? Karena ketakutan itu pula yang membuat logika dan aktor Orba tetap bertahan dan kian mengakar. Ketakutan itu yang membuat kita diam pada persoalan HAM di Papua dan daerah lainnya yang mengoyak tubuh (riil), tetapi peduli pada persoalan HAM di Jakarta dan daerah lainnya yang mencabik identitas (fiktif).
Kita mesti lantang bersuara dan tidak perlu merasa tahu diri, karena fenomena HRS dan FPI adalah persoalan bersama. Benar bahwa kita, seperti yang Romo anjurkan di tulisan itu, perlu bersikap rendah hati dan terbuka terhadap orang lain. Tetapi itu tidak dilakukan karena kita mesti bersikap tahu diri, sehingga ada yang mengandalkan dan diandalkan, Mo. Kita bersikap rendah hati, karena sikap itu baik. Titik. Bukan supaya dapat sahabat yang bisa diandalkan!
Waktu kami masih panjang. Silahkan bawa ketakutan itu untuk Romo sendiri. Kami memilih untuk mengelolanya. Bukankah itu artinya Salib?
*) Fandis Nggarang adalah Pengurus Pusat PMKRI periode 2016-2018