ESENSINEWS.com – Suara-suara penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja kemungkinan besar akan berlabuh pada uji materi di MK. Gugatan ini akan dilayangkan setelah Presiden Jokowi menandatangi naskah final UU tersebut.
Bagaimana perjalanan awal pembahasan draf undang-undang ‘sapu jagat’ ini hingga disahkan dan melahirkan penolakan massal yang diwarnai unjuk rasa dan kericuhan?
BBC News Indonesia merangkum perjalanan pembahasan UU Cipta Kerja, mulai pidato Presiden Joko Widodo pada Oktober tahun lalu, hingga rencana uji materi sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi.
Sampai Jumat (30/10) sore, Presiden Joko Widodo belum menandatangani UU Cipta Kerja setelah disahkan oleh DPR pada Senin (05/10/2020) lalu.
“Tinggal menunggu waktu ya… Dalam beberapa saat setelah ditandatangani oleh beliau, segera diundangkan dalam lembaran negara,” kata Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, kepada pers, Rabu (21/10) lalu.
Seperti diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden Jokowi memiliki waktu 30 hari untuk menandatangi atau tidak sebuah UU yang sudah disahkan DPR.
Sebelumnya, DPR menyerahkan naskah final undang-undang tersebut kepada Presiden Joko Widodo, Rabu (14/10/2020), melalui Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.
Sejumlah pihak mengharapkan Presiden Jokowi dapat segera menandatanganinya, sehingga upaya uji materi (judicial review) atas UU Cipta Kerja dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak semua organisasi buruh bersedia melayangkan gugatan uji materi atas Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari tujuh organisasi buruh yang terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, setidaknya ada empat yang berencana melayangkannya.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mencatat setidaknya ada 12 pasal dalam klaster ketenagakerjaan yang dianggap merugikan buruh.
Belasan pasal itu mencakup soal pesangon, sistem kontrak dan alih daya, serta pengupahan.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, Kamis (15/10), mengatakan pihaknya segera mendaftarkan gugatan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) begitu undang-undang itu ditandatangani presiden dan dinomorkan.
Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, mengatakan pihaknya akan menjalankan apapun keputusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review yang dilayangkan sejumlah organisasi buruh.
Ia mengeklaim, pasal-pasal yang tertuang dalam UU Cipta Kerja merupakan “titik kompromi paling maksimal” yang bisa diupayakan kementerian.
Menyusul demonstrasi besar yang terjadi di sejumlah daerah menolak Omnibus Law, Jumat (09/10), Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa “ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja” dapat disalurkan melalui uji materi ke MK.
Desakan diterbitkan perpu – tapi mengapa pemerintah menolak?
Unjuk rasa mahasiswa dan buruh pada Rabu (28/10) lalu, menyuarakan kembali agar pemerintahan Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang alias perpu.
Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan, menolak mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Bagaimana mungkin rakyat dipaksa mengikuti jalur hukum tapi pembentukan UU sendiri tidak taat hukum. Dari awal, pembahasan UU ini tidak terbuka, partisipasi publik minim, maka kita sebut cacat prosedur dan cacat hukum,” kata Nining.
Sebagian ahli hukum tata negara menganggap perpu merupakan pilihan terbaik bagi Presiden Joko Widodo untuk mengoreksi keputusan DPR mengesahkan Omnibus Law.
Namun pengamat hukum tata negara lainnya menilai upaya itu sulit dipenuhi karena akan menjatuhkan wibawa dan kehormatan pemerintah sebagai pengusul UU Cipta Kerja.
Penerbitan Perpu juga dianggap sebagai “obat mujarab” untuk menyelesaikan polemik UU Cipta Kerja, yaitu sebagai bentuk mengakomodasi tuntutan publik.
Dikatakan bahwa “amarah” publik yang tercermin dari maraknya demonstrasi di banyak daerah sudah memenuhi syarat kegentingan untuk diterbitkan perpu.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, kepada BBC News Indonesia, mengatakan tidak mungkin pemerintah akan mengeluarkan perppu pembatalan UU Cipta Kerja.
“Kalau minta dihapus kan sama saja all or nothing, tidak bisa begitu, tidak fair karena UU ini tidak hanya mengurus ketenagakerjaan tapi juga sektor penting lain,” katanya, Senin (12/10).
Setelah disahkan, dokumen final UU Cipta Kerja sempat tidak bisa diakses publik – apa yang terjadi?
DPR dan pemerintah didesak segera membuka kepada publik dokumen final Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan pada Rapat Paripurna, 05 Oktober lalu.
Padahal, jika merujuk pada UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Tata Tertib DPR, salinan dokumen akhir yang telah disetujui harus diterima oleh setiap anggota dewan tanpa kecuali dan langsung bisa diakses oleh publik.
Sejumlah pakar mengatakan, keterbukaan dan kemudahan masyarakat mendapatkan dokumen sangat penting karena bisa menjadi alat kontrol jika terjadi perubahan atas isi undang-undang.
Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas saat itu menjanjikan draf itu dapat diakses pada awal pekan depan atau Senin (12/10/2020).
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bukhori Yusuf, mengatakan ada kemungkinan tim ahli DPR masih memperbaiki redaksional undang-undang yang berjumlah hampir 1.000 halaman itu.
“Ini kan bukan pasal yang sedikit, tapi meliputi ribuan halaman dan ribuan pasal turunan. Makanya kita ingatkan sejak awal, supaya lebih hati-hati dan tidak tergesa-gesa,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Kendati salinan akhir belum diperoleh, draf Undang-Undang Cipta Kerja tertanggal 5 Oktober 2020 yang berjumlah 905 halaman telah beredar di masyarakat. Hanya saja, dokumen itu disebut beberapa anggota Baleg DPR bukanlah versi final.
Dalam jumpa pers resmi pada Selasa (13/10) sore, pimpinan DPR membantah telah mengubah draf UU Cipta Kerja setelah rapat paripurna tanggal 5 Oktober lalu.
Perbedaan jumlah halaman pada draf omnibus law yang beredar di masyarakat, klaim mereka, semata-mata akibat penyesuaian bentuk huruf, marjin, dan ukuran kertas.
Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin, menyebut tak ada perubahan apapun dalam draf UU Cipta Kerja setelah disetujui di rapat paripurna.
Rekaman dan notulensi proses pembahasan RUU disebut Aziz bisa menjadi bukti bahwa DPR tidak mengubah substansi UU Cipta Kerja.
Dalam jumpa pers, Selasa kemarin, Aziz hanya mengakui eksistensi dua dari empat draf DPR yang beredar, yaitu yang 1035 dan 812 halaman.
Draf 1035 halaman, kata Aziz, menyusut menjadi 812 halaman karena Sekretariat DPR melakukan penyesuaian bentuk huruf, marjin, dan ukuran kertas.
Aziz berkata, draf 812 halaman yang itulah yang diserahkan ke Presiden Joko Widodo untuk disahkan menjadi UU dan dimasukkan ke Lembaran Negara.
Pakar hukum tata negara di Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, mengubah atau menambahkan satu kata pun dalam sebuah UU yang sudah disetujui DPR tidak boleh dilakukan menurut teori dan ketentuan hukum.
Feri menyebut muncul atau berubahnya satu kata dapat mengubah makna UU. Sementara penambahan pasal baru, kata dia, mencuatkan ketentuan yang tidak disepakati dalam bersama oleh berbagai fraksi di DPR.
“Tidak boleh ada perubahan. Yang diketuk dalam rapat paripurna DPR adalah pasal-pasal yang akan disahkan menjadi UU,” ujar Feri via telepon, Selasa (13/10).
Unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, yang berlangsung di beberapa kota, mulai Selasa (06/10/2020) dan memuncak pada Kamis (08/10/2020) petang, sebagian yang diwarnai kericuhan.
Menkopolhukam Mahfud MD menggelar jumpa pers, dan secara khusus menanggapi aksi pengrusakan fasilitas umum dan negara oleh sekelompok orang.
“Demi ketertiban dan keamanan, maka pemerintah akan bersikap tegas atas aksi-aksi anarkis yang justru bertujuan untuk menciptakan kondisi rusuh dan ketakutan di dalam masyarakat.”
Mahfud kemudian mengulangi kalimat tersebut, dengan menambahkan “melakukan proses hukum” terhadap apa yang disebutnya “semua pelaku dan aktor intelektual yang menunggangi” atas aksi anarkis yang sudah berbentuk tindakan kriminal.
“Saya ulangi, sekali lagi pemerintah akan bersikap tegas dan melakukan proses hukum terhadap semua pelaku dan aktor yang menunggangi atas aksi-aksi anarkis yang sudah berbentuk tindakan kriminal,” katanya.
Mahfud MD tidak menjelaskan lebih lanjut atas pernyataannya terkait “aktor intelektual”, namun tuduhan seperti ini berulangkali dibantah oleh pimpinan buruh dan mahasiswa.
Anwar Sastro, Presiden Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia, meminta semua pihak tidak menuduh tanpa bukti bahwa pedemo anti-UU Cipta Kerja merusak fasilitas umum.
Kepolisian harus menyelidiki secara independen apakah pelaku perusakan itu adalah pengunjuk rasa atau pihak lainnya, katanya.
Sebaliknya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan polisi “telah melakukan pelanggaran peraturan Kapolri” saat menangani aksi massa yang menentang pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, pada 6-8 Oktober 2020.
Organisasi ini mencatat tindakan kekerasan oleh aparat polisi terjadi di 18 provinsi dan dinilai melanggar Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarki.
Pernyataan ini dikeluarkan ketika ribuan orang yang terdiri dari buruh, pelajar, dan mahasiswa di beberapa wilayah ditangkap selama tiga hari rangkaian aksi protes.
Tapi Mabes Polri berdalih apa yang dilakukan jajaranya saat mengadapi pengunjuk rasa “sudah sesuai aturan”.
Tidak lama setelah Menkopolhukam Mahfud MD menuding ada “aktor intelektual” di balik demo anti-UU Cipta Kerja, polisi membeberkan apa yang disebutkan sebagai barang bukti dugaan keterlibatan sembilan orang anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dalam kerusuhan itu.
Keterangan ini disampaikan polisi tidak lama setelah Gatot Nurmantyo, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama pimpinan KAMI lainnya mendatangi Mabes Polri Kamis (15/10/2020) untuk “memprotes dan menuntut pembebasan” rekan-rekan mereka.
Mengenakan seragam tahanan warna oranye dengan tangan terikat ke depan, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dan enam orang lainnya diminta berdiri berjejer di belakang meja pimpinan kepolisian yang menggelar jumpa pers.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Argo Yuwono, dalam keterangannya, mengungkapkan apa yang disebutnya sebagai bukti-bukti tindakan penghasutan dan penyebaran kebencian oleh sembilan orang tersangka.
Belum ada keterangan tersangka dan pengacaranya atas klaim temuan barang bukti oleh polisi ini. Dalam jumpa pers polisi, tersangka tidak diberi kesempatan berbicara.
Argo kemudian membacakan sejumlah “cuitan di Twitter”, “status di Facebook”, hingga “ujaran dalam grup whatsapp” yang diduga dilakukan oleh sebagian tersangka.
Deklarator KAMI Rochmat Wahab mengatakan tindakan kepolisian dalam penangkapan sembilan pegiat KAMI “aneh, tidak lazim dan menyalahi prosedur”.
Adapun deklarator KAMI lainnya, Din Syamsudin mengatakan “ada ketidakadilan. Kalau pun UU ITE mau diterapkan, kami mendesak diterapkan kepada semua. Termasuk ujaran-ujaran kebencian terhadap KAMI, terhadap figur-figur KAMI, yang berada di depan mata.
“Mengapa itu tidak diusut, tidak ditangkap, karena seaspirasi. Kami menuntut semuanya, termasuk siapa saja, yang ditangkap dengan ketidakadilan, untuk dilepaskan,” katanya.
Kapan pertama kali Presiden Jokowiungkap rencana membuat omnibus law?
Presiden Joko Widodo, dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019, mengatakan pemerintah akan membuat UU Cipta Lapangan Kerja serta UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Omnibus Law.
Tiga bulan kemudian, dalam wawancara khusus dengan BBC News Indonesia di Yogyakarta, 31 Januari 2020, saat ditanya tentang visinya di balik rencana pembuatan Omnibus Law, Jokowi mengatakan “kita ingin menyederhanakan perizinan dan birokrasi”.
“Kita ingin kecepatan, sehingga diperlukan sebuah harmonisasi undang-undang sehingga muncul kecepatan pelayanan, muncul kecepatan dalam membuat kebijakan.
“Sehingga Indonesia akan bisa lebih cepat dalam merespon perubahan-perubahan dunia yang ada,” katanya.
Presiden kemudian menambahkan: “Kita ingin melayani investor secepat-cepatnya, baik investor lokal maupun investor dari negara lain, saya kira arahnya ke sana.”
Ditanya tentang adanya penolakan dari kelompok buruh dan pegiat lingkungan atas rencananya itu, Joko Widodo mengatakan tuntutan itu akan dijadikan “masukan”.
“Nanti akan saya sampaikan pada DPR, parlemen, bahwa ini ada komplain seperti ini,” ujarnya.
Ditanya apakah Omnibus Law akan disahkan pada 2020, Jokow Widodo mengatakan: “Perkiraan saya maksimal enam bulan setelah ini selesai, Insya Allah,” kata Presiden Jokowi, kala itu.
Diawali pernyataan Presiden Joko Widodo, dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019, yang isinya mengatakan bahwa pemerintah akan membuat Omnibus Law, bergulir proses pembahasannya, seperti dilaporkan Koran Tempo (05/10 dan 13/10), serta Majalah Tempo (18/10):
Semenjak Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencana untuk membuat UU Cipta Kerja, telah ada kritikan terhadap tujuan dan rancangannya.
Upaya pemerintah dalam perampingan aturan demi menyederhanakan ijin investasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru dinilai kontraproduktif oleh seorang pengamat ekonomi.
Sebelum disahkan, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menilai upaya pemerintah untuk menyederhanakan izin investasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui omnibus law’ dinilai kontraproduktif.
Ia mengatakan kluster peraturan ketenagakerjaan dalam omnibus law bermasalah sejak awal.
Alasannya, menurutnya, proses pembahasannya yang tidak transparan, mengundang polemik secara substantif, dan bahkan berpotensi menimbulkan kegaduhan.
“Seperti ancaman mogok kerja, dan aksi-aksi lain yang bisa berdampak dalam jangka menengah panjang,” kata Bhima, pertengahan Februari 2020 lalu.
“Menurut saya sudah cacat sejak di awal karena pada waktu draf itu sebenarnya harusnya melakukan konsultasi juga, konsultasi kepada pihak-pihak yang terkait, karena ini menyangkut 130 juta angkatan kerja di Indonesia, akan terdampak semua,” katanya.
Omnibus Law, atau perampingan aturan, sesungguhnya terdiri dari beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), atau yang juga dikenal sebagai ‘kluster’ terkait beberapa sektor.
Secara keseluruhan, RUU ini berpotensi mengubah lebih dari 1.000 pasal dalam 79 Undang-Undang yang berlaku, termasuk UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah menyatakan bahwa UU ini bertujuan untuk menyerap tenaga kerja Indonesia serta mendorong pertumbuhan perekonomian.
Pemerintah juga mengeklaim bahwa UU Cipta Kerja bakal melindungi tenaga kerja.
Sumber : BBC