ESENSINEWS.com – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyesalkan Pemerintah dan DPR RI terkait tidak terbukanya draf Undang-Undang Cipta Kerja. Terlebih, sejak awal diusulkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Omnibus Law telah banyak ditentang oleh berbagai elemen masyarakat sipil.
“Di balik pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja ini, terdapat kepentingan besar para pebisnis tambang, guna mendapat jaminan hukum untuk keberlanjutan dan keamanan bisnisnya,” kata Juru Bicara JATAM Merah Johansyah, Jumat (9/10).
Johansyah menyampaikan, melalui sejumlah elite politik dan pebisnis di Satgas dan Panja Omnibus, kepentingan itu dikejar dan berhasil diperoleh dengan disahkannya RUU Omnibus Law menjadi UU di DPR yang dipimpin oleh Puan Maharani. Bahkan, berdasarkan analisis profil para satgas dan anggota Panja Omnibus Law DPR, terdapat 12 aktor penting yang memiliki hubungan dengan bisnis tambang terutama batu bara.
“Terdapat 12 aktor intelektual yang tersebar dan memiliki peran serta fungsi berbeda di Satgas dan Panja DPR UU Cilaka. 12 orang itu, antara lain Airlangga Hartarto, Rosan Roeslani, Pandu Patria Sjahrir, Puan Maharani, Arteria Dahlan, Benny Sutrisno, Azis Syamsudin, Erwin Aksa, Raden Pardede, M Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar, dan Lamhot Sinaga,” ujar Johansyah.
Johansyah menyebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang berperan sebagai pembentuk tim Satgas Omnibus, terhubung dengan PT Multi Harapan Utama, sebuah tambang batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Menurutnya, luas konsesi PT MHU mencapai 39.972 hektar atau setara dengan luas kota Surabaya.
“Catatan Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur pada 2017, PT MHU meninggalkan 56 lubang bekas tambang yang tersebar di Kutai Kartanegara, dan salah satu lubang tambangnya di Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kilometer 14, menewaskan Mulyadi, pada Desember 2015,” beber Johansyah.
Sementara itu, Ketua Kadin yang juga Ketua Satgas Omnibus Law, Rosan Roeslani disebut terhubung dengan 36 entitas bisnis. Puluhan bisnis itu mulai dari perusahaan di bidang media, farmasi, jasa keuangan dan finansial, properti, minyak dan gas, hingga pertambangan batubara.
“Rosan juga tercatat sebagai anggota Indonesia Coal Mining Association. Pada Pemilu Presiden 2019, Rosan juga menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin,” urai Johansyah.
Sementara itu, lanjut Johansyah, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin terkait dengan perusahaan pertambangan batu bara, melalui kedekatannya dengan mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari yang saat ini sudah menjadi terpidana korupsi. Menurut laporan Coalruption, Rita mengangkat Azis sebagai komisaris perusahaan tambang batu bara milik ibunya, Sinar Kumala Naga.
Selain itu, Johansyah juga membeberkan sembilan aktor intelektual di Satgas dan Panja DPR UU Cilaka dari sektor batubara lainnya, yakni Puan Maharani, Arteria Dahlan, Benny Sutrisno, Erwin Aksa, Raden Pardede, M. Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar dan Lamhot Sinaga disebut memiliki hubungan dengan bisnis tambang dan energi kotor batubara.
“Dari hasil penelusuran kami, mereka memiliki hubungan dengan bisnis tambang dan energi kotor batubara baik langsung maupun tidak langsung, secara pribadi, baik sebagai pemilik, komisaris hingga direksi,” ungkap Johansyah.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menuturkan, UU Cipta Kerja hanyalah satu di antara UU kontroversial lainnya yang dalam waktu sangat singkat diusulkan, dibahas dan disahkan oleh kekuatan oligarki yang terkonsolidasi di pemerintahan dan DPR.
Sebelumnya, telah ada empat produk hukum kontroversial lain yang dibahas dengan pola serupa, tertutup dan terburu-buru diantaranya UU KPK, Perppu Covid, UU Minerba dan UU MK.
“UU Cipta Kerja adalah salah satu skenario oligarki untuk terus menimbun kekayaannya. Pengesahan UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa para oligark kini telah memperkokoh posisinya, dan skenario mereka telah berjalan dengan sempurna. Apalagi, saat ini KPK juga sudah dilemahkan,” cetus Egi.
Egi juga menuturkan, produk legislasi yang dihasilkan Pemerintah dan DPR hanya menguntungkan bisnis segelintir orang. Bahkan, bisa disebut sebuah korupsi yang sistemik.
“Mereka telah membuat peraturan yang dengan sengaja menguntungkan bisnis yang mereka miliki. Ini adalah bentuk sebuah korupsi sistemik yang dapat dikategorikan tindakan kejahatan serius,” tegas Egi.
Sejumlah nama-nama yang disebutkan dalam memuluskan Omnibus Law itu telah dikonfirmasi JawaPos.com, namun tak memberikan respon atas hasil penelurusan #BersihkanIndonesia.
Sumber : Jawapos.com