Tentu saja Indonesia tidak sendirian. Hampir semua negara di dunia juga masuk resesi. Tapi, hampir semua negara-negara tersebut masih menjalankan program ekonomi secara normal. Tidak seperti Indonesia yang sangat heboh.
Pertama, Indonesia heboh mengeluarkan PERPPU (dan UU) Corona, yang menghapus antara lain larangan Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Penghapusan larangan ini membuat Bank Indonesia sekarang bisa beli SBN di pasar primer. Di mana hal ini taboo dilakukan oleh kebanyakan Bank Sentral terkemuka dunia.Kedua, pemerintah heboh membentuk gugus tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Namanya terkesan sangat akademis: Pemulihan Ekonomi Nasional. Padahal di negara lain dilakukan dengan cara biasa-biasa saja. Setiap kementerian masih melakukan tugasnya masing-masing.
Pemulihan ekonomi memang seharusnya melalui koridor yang sudah ada saja . Yaitu, mengaktifkan stimulus fiskal dan stimulus moneter. Kedua stimulus ini harus saling mendukung agar efektif. Stimulus fiskal dicapai melalui peningkatan defisit anggaran. Ini memang sudah dilakukan, meskipun belum efektif. Karena sarat politisasi.
Kelompok mana yang harus mendapat bantuan stimulus: korporasi vs rakyat jelata? Korporasi besar vs UMKM? Rakyat yang bekerja di sektor formal atau informal? Atau semua rakyat mendapat bantuan yang sama?
Di lain sisi, kebijakan moneter harus bisa mendukung kebijakan fiskal agar stimulus fsikal tidak mubazir. Kebijakan moneter di saat resesi juga sangat umum, menurunkan suku bunga.
Saat resesi, likuiditas menjadi ketat. Banyak perusahaan dan nasabah perorangan gagal bayar bunga pinjaman dan cicilan utang. Membuat likuiditas sektor perbankan juga menjadi ketat. Artinya, permintaan likuiditas meningkat. Di sisi lain, supply likuiditas turun. Kondisi ini membuat suku bunga cenderung naik. Kalau didiamkan, konsumsi masyarakat akan turun tajam, pertumbuhan ekonomi semakin memburuk.
Suku bunga rendah membuat konsumsi masyarakat meningkat dan menggairahkan ekonomi. Suku bunga rendah akan memberi destimulus menabung. Konsumen akan lebih memilih belanja, dengan memanfaat suku bunga rendah untuk membeli durable goods: motor, mobil, properti, serta barang rumah tangga lainnya. Suku bunga rendah juga membantu biaya kredit (cost of borrowing) menjadi lebih murah, sehingga dapat membantu perusahaan bertahan hidup.
Stimulus moneter suku bunga rendah sejalan dengan stimulus fiskal defisit anggaran. Keduanya akan mendongkrak ekonomi lebih efektif dari dua sisi bersamaan. Fiskal meningkatkan konsumsi pemerintah, moneter meningkatkan konsumsi masyarakat.
Sebaliknya, kalau kebijakan moneter tidak tepat, kalau suku bunga bertahan tinggi, maka stimulus fiskal akan mubazir.
Suku bunga acuan Singapore saat ini mendekati 0 persen, Thailand hanya 0,5 persen, Malaysia sekitar 1,75 persen. Sedangkan Indonesia masih 4 persen. Suku bunga acuan yang tinggi membuat suku bunga kredit bertahan tinggi. Ada yang masih di atas 10 persen. Kondisi ini tentu saja menghambat konsumsi dan belanja masyarakat.
Namun, pemerintah dan Bank Indonesia malah menempuh cara yang tidak lazim. Memberi bantuan likuiditas kepada Bank dan korporasi melalui dana PEN. Cara ini membuat defisit anggaran negara membesar, yang seharusnya tidak perlu. Karena bank masih memegang SBN dalam jumlah besar. Per 30 Juni 2020, BRI memegang sekitar Rp221 triliun, Mandiri Rp143 triliun, BNI Rp87,2 triliun. BCA Rp194,8 triliun.
Kebijakan moneter dengan suku bunga relatif tinggi akan kontra-produktif terhadap kebijakan fiskal. Membuat stimulus fiskal mubazir. Menghambat pemulihan ekonomi nasional.