ESENSINEWS.com – Anak-anak di hampir seluruh negara Eropa telah kembali ke sekolah untuk memulai tahun ajaran baru. Namun di belahan dunia lain, pandemi Covid-19 masih terus memaksa penutupan sekolah.
BBC menilik kondisi belajar-mengajar yang kini terjadi di India dan beberapa negara Asia selatan lainnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut pandemi Covid-19 berdampak pada sekitar 600 juta anak di wilayah itu.
Ketika berbagai pembatasan akibat penyebaran virus corona diterapkan Maret dan April lalu, tahun ajaran baru baru saja bergulir di mayoritas negara Asia bagian selatan.
Sejak saat itu seluruh sekolah di wilayah tersebut ditutup. Hingga kini belum ada kebijakan terkait pembukaan kembali sekolah-sekolah itu.
Aktivitas belajar-mengajar jarak jauh berlangsung dalam jaringan internet. Kelas-kelas digelar melalui layanan siaran langsung. Alternatifnya, para pelajar perlu membuka materi pengajaran yang disimpan sebagai konten digital.
Namun banyak negara di Asia selatan memiliki infrastruktur internet yang minim. Masyarakat kelas bawah bakal mengalami kesulitan mengikuti aktivitas sekolah yang dialihkan ke internet.
Merujuk pernyataan PBB, setidaknya 147 juta anak tidak dapat mengakses aktivitas belajar-mengajar secara online. Menurut data pemerintah India, hanya 24% rumah tangga di negara mereka yang tersambung ke internet.
Adapun, hanya 4% rumah tangga di pedesaan di India yang memiliki akses internet.
Bangladesh secara umum lebih baik ketimbang India. Diperkirakan 60% rumah tangga di negara itu tersambung ke internet. Meski begitu, jaringannya sangat buruk.
Ada pula persoalan peralatan yang minim di berbagai sekolah. Survei berskala nasional yang digelar Nepal menemukan bahwa dari sekitar 30.000 sekolah negeri, hanya 30% di antaranya yang memiliki komputer. Dari persentase itu, hanya 12% sekolah yang tersambung ke internet.
Akibat kondisi itu, sejumlah sekolah di Asia selatan akhirnya beralih ke televisi dan radio. Alasannya, pelajar lebih mudah mengakses ke jaringan itu ketimbang internet.
Badan penyiaran publik India, Doodarshan, sejauh ini telah menyiarkan berbagai konten pendidikan melalui televisi dan radio mereka.
Sementara itu, lembaga penyiaran publik Bangladesh, Sangsad, manayangkan konten pelajaran yang telah lebih dulu direkam.
“Ini adalah beberapa pendekatan yang berhasil untuk menjangkau sebagian besar anak-anak,” kata Direktur Unicef untuk kawasan Asia Selatan, Jean Gough, kepada BBC.
Nepal juga meniru cara yang sama. Namun lebih dari setengah rumah tangga di negara itu tak memiliki akses televisi.
Banyak sekolah di Sri Lanka yang sekarang telah beroperasi kembali tidak menerapkan prinsip jarak. Hanya beberapa sekolah yang mewajibkan pemakaian masker, kata Joseph Stalin, Sekretaris Jenderal Serikat Guru Ceylon.
Menurut Stalin, protokol kesehatan dasar sulit diterapkan karena tidak ada anggaran khusus yang dialokasikan untuk program itu.
Federasi Seluruh Sekolah Swasta Pakistan menentang pembukaan kembali sekolah September mendatang. Mereka menyatakan butuh dana pemerintah untuk menggelar tes Covid-19 dan menerapkan protokol kesehatan.
Di India kekhawatiran serupa juga muncul.
“Saat sekolah kembali dibuka, orang tua, guru, alat transportasi, dan penyedia jasa lain juga akan beroperasi. Itu akan meningkatkan pergerakan publik,” kata Priti Mahara, dari lembaga Child Rights and You, kepada BBC.
Penutupan sekolah selama ini menyebabkan sekolah swasta mengalami kesulitan keuangan. Mereka sangat bergantung pada dana yang dibayarkan para pelajar.
Di Bangladesh, lebih dari seratus sekolah swasta kini akan dijual ke publik.
“Saya sudah meminjam uang untuk membayar gaji dan sewa,” kata Taqbir Ahmed, pemilik salah satu sekolah di Dhaka kepada BBC Bengali.
Beberapa badan amal di wilayah tersebut telah mencoba membantu sekolah-sekolah yang paling rentan.
“Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah negara bagian dan sekolah terhadap anak-anak yang memiliki setidaknya satu ponsel di rumah,” kata Rukmini Banerji, dari Pratham Education Foundation.
Dalam beberapa kasus, siswa-siswi di negara itu putus sekolah karena pemerintah tidak dapat menjalin kontak dengan mereka.
Jika urusan komunikasi ini tak diselesaikan, Jean Gough dari Unicef memperkirakan angka putus sekolah di negara-negara Asia Selatan bakal meningkat drastis.
“Pengamatan terhadap penutupan sekolah yangsebelumnya terjadi akibat wabah Ebola dan keadaan darurat lainnya menunjukkan, akan muncul kerugian yang sangat signifikan dalam hal pembelajaran,” kata Gough.
Liputan ini dilengkapi reportase yang dilakukan Waliur Rahman Miraj, Muhammad Shahnewaj dan Saroj Pathirana
Sumber : BBC