ESENSINEWS.com – Sorgum merupakan salah satu komoditas pertanian Indonesia yang masih belum banyak berkembang hingga kini. Sorgum masih berada di urutan kelima setelah gandum, jagung, padi dan jelai. Menurut data Kementerian Pertanian, produksi sorgum secara nasional rata-rata berkisar 4.000-6.000 ton setahun, yang ditanam di lima provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Jumlah ini masih sangat rendah dibandingkan produksi beras secara nasional, yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 mencapai sekitar 32 juta ton, dari total produksi padi (gabah kering giling) sebanyak 56,54 juta ton. Angka ini belum ditambah jumlah beras impor, yang pada 2018 tercatat sebanyak 2,11 juta ton.
Masih rendahnya produksi sorgum, tidak lepas dari minimnya promosi untuk mengenalkan sorgum sebagai alternatif bahan pangan pokok selain beras. Diungkapkan oleh Romo Marcelinus Hardo Iswanto, CM, dari komunitas pengembangan pertanian organik Gubug Lazaris, peminat sorgum masih terbatas pada kalangan tertentu, terutama yang menganut pola hidup sehat.
Padahal kata Romo Hardo, sorgum merupakan bahan pangan pokok sumber karbohidrat, yang dapat tumbuh tanpa mengenal musim dan mampu hidup di tanah yang tandus.
“Karena yang dipromosikan besar-besaran itu adalah padi sama jagung, sedangkan sorgum tidak. Namun, dengan perkembangan zaman, manusia mulai sadar pola hidup sehat, sekarang mulai orang itu mencari alternatif sumber karbohidrat yang lain, selain padi dan jagung,” kata Romo Hardo Iswanto.
“Misalnya, seperti sagu di Papua, umbi-umbian di NTT, juga sorgum ini juga dikembangkan di NTT, karena sorgum itu bisa tumbuh subur di lahan-lahan yang tandus, kering,” katanya.
Perlu Kreatifitas Pengolahan Hasil Pertanian
Selain sorgum, masih banyak lagi bahan pangan pokok sumber karbohidrat yang dimiliki Indonesia selain padi atau beras, seperti umbi-umbian dan sagu. Penanaman produk tanaman pangan ini selain untuk melestarikan, juga sebagai upaya mengenalkan produk tanaman pangan pokok Indonesia kepada generasi penerus.
Romo Hardo Iswanto menyampaikan pentingnya kreativitas pengolahan hasil pertanian, sebagai upaya mewujudkan kemandirian petani. Potensi yang ada di pertanian harus dapat dioptimalkan menjadi sesuatu yang lebih memiliki nilai ekonomis, terlebih dalam mengolah komoditas tanaman pangan menjadi produk pangan olahan.
“Kalau kita itu mau merawat lingkungan kita, menanam hal-hal yang kita butuhkan itu, otomatis kita tidak menilai apa yang saya makan itu dengan uang, tetapi dengan aktivitas, kreativitas, kita itu sudah banyak mendapatkan makanan, dengan sendirinya kita tidak perlu belanja,” lanjut Romo Hardo.
Saat Pandemi Sektor Pertanian Bisa Bertahan
Pada masa pendemi corona ini, pertanian menurut Romo Hardo, merupakan sektor yang masih mampu bertahan menghadapi ancaman resesi ekonomi.
Meski pemerintah telah berupaya mengembangkan dan memasyarakatkan aneka komoditas tanaman pangan pokok selain padi, namun penerapannya di masyarakat masih sangat rendah karena sudah terbiasa dengan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Ini dipengaruhi pula oleh pola hidup masyarakat yang biasa mencari produk makanan yang mudah disajikan.
Padahal secara nilai gizi dan penerapan dalam berbagai produk olahan makanan, komoditas tanaman pangan pokok seperti; umbi-umbian, sagu, serta sorgum, telah banyak dimanfaatkan menyajikan aneka jajanan dan makanan olahan lainnya. Sorgum serta bahan pangan pokok lainnya juga dapat dibuat menjadi tepung, untuk memudahkan membuat berbagai olahan makanan seperti kue, roti, mie, dan aneka jajanan lainnya.
Dosen Fakultas Teknobiologi, Program Kekhususan Bionutrisi dan Inovasi Pangan, Universitas Surabaya, Christina Mumpuni Erawati mengatakan, perlu ada sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sejak usia dini, untuk lebih mengenal dan menyukai produk olahan pangan pokok selain dari beras, melalui pelatihan maupun strategi pengembangan produk.
Upaya memasyarakatkan tanaman pangan pokok selain beras, merupakan cara untuk melestarikan produk tanaman pangan yang ada selama ini. Sehingga ketergantungan pada satu jenis bahan pangan dapat dihindari, dan petani sebagai produsen akan lebih banyak menanam tanaman pangan non-padi karena banyak yang membutuhkan.
“Memang mesti ada pembinaan ke petani, artinya strategi mereka mengembangkan produk, misalnya sorgum. Kalau memang secara cost production-nya tinggi, otomatis mereka memang harus jual tinggi,” kata Christina Mumpuni Erawati.
“Nah, untuk jual tinggi biasanya ke middle up, middle up itu arahnya ke mana, ke pola hidup sehat, maka diunggulkanlah kandungan gizinya sorgum,” tambahnya.
Sumber : VOA