ESENSINEWS.com – Bahaya laten dari ribuan petempur asing kelompok yang disebut Negara Islam atau ISIS, yang kalah dan telah ditangkap kian nyata dan tumbuh di kamp penjara yang tidak layak dan sangat penuh di timur laut Suriah.
Kerusuhan dan upaya pelarian diri di sana menjadi semakin umum.
ISIS telah bertekad untuk membebaskan mereka, beserta dengan para tanggungan mereka, dan mereka dilaporkan tengah membentuk sebuah jaringan penyelundup manusia, yang direkrut melalui suap, guna mengamankan jihadis yang telah dibebaskan secara diam-diam.
Keputusan Pengadilan Banding Inggris bulan Juli ini yang menyatakan Shamima Begum, mantan pelajar kelahiran Inggris yang telah kehilangan kewarganegaraan Inggrisnya, berhak kembali ke Inggris untuk mengikuti pengadilan membuat masalah tahanan ISIS sebagai perhatian baru.
Begitu pula dengan isu kematian seorang warga Inggris milisi ISIS yang mati di penjara Kurdi.
Ketika ISIS kehilangan bagian terakhir dari wilayah yang diklaim sebagai area khilafahnya di Baghuz, Suriah, pada Maret 2019, ribuan anggotanya yang masih hidup dikumpulkan dan ditahan selama masa yang tidak ditentukan di kamp-kamp milik etnis Kurdi Suriah yang telah melawan mereka.
Hal ini, kata pengamat, adalah masalah yang belum ada solusinya dan beresiko menjadi ancaman keamanan baru dunia.
Riset yang dirilis oleh Jurusan Pertahanan Kings College London bulan ini memperingatkan bahwa milisi ISIS yang melarikan diri telah berkumpul kembali di beberapa negara di dunia. Ancamannya sekarang adalah ISIS dapat terbentuk kembali.
“Jika kita berkomitmen mengalahkan ISIS, itu berarti kita belum selesai berperang meskipun serangan udara telah usai,” kata ketua Komisi Pertahanan Parlemen Inggris, Tobias Elwood.
“Ada puluhan ribu ekstremis, keluarga milisi, dan pendukung ISIS lainnya yang masih ada di Irak dan Suriah. Kita harus membuat keputusan apakah kita berkomitmen untuk memastikan kita mengalahkan Daesh (ISIS) secara keseluruhan atau ideologi itu akan hidup selama mereka mampu bertemu kembali.”
Sekitar 40.000 jihadis asing diyakini mendatangi Suriah untuk bergabung bersama IS antara tahun 2014-2019. Di antara mereka, yang dinamakan sebagai Tentara Teroris Asing, atau FTF, diperkirakan 10.000-20.000 masih hidup, sebagian dipenjara, sebagian masih buron.
Beberapa orang telah menjalani proses pengadilan di negara tetangga Irak, namun sebagian besar menderita di kamp-kamp penjara, termasuk perempuan yang disebut IS sebagai “perempuan suci” dan “pengantin khalifah.”
Pimpinan ISIS, yang hingga kini buron, bertekad untuk membebaskan mereka.
Awal tahun ini PBB memperkirakan ada sekitar 8.000 anak-anak FTF yang ditahan di penjara milik etnis Kurdi.
Di antara mereka, lebih dari 700 anak diyakini berasal dari negara-negara Eropa –termasuk Inggris– yang sejauh ini enggan menerima mereka.
Anne Speckhard dari Pusat Studi Ekstremisme Keras Internasional telah mewawancarai lebih dari 200 jihadis dan keluarga mereka dalam tiga tahun terakhir.
Ia juga telah mengunjungi kamp-kamp di timur laur Suriah seperti Al-Hol, dan ia mengatakan kondisi di sana mengerikan dan ada upaya melarikan diri hampir setiap minggu.
Banyak perempuan di sana telah meninggalkan ISIS, namun hidup mereka dibayangi ketakutan seseorang akan membalas mereka.
“Ada penegak ideologi IS di dalam kamp-kamp tersebut,” katanya. “Mereka adalah perempuan yang membunuh perempuan lainnya. Mereka membakar tenda korbannya. Mereka melempari korbannya dengan batu dan mengajarkan anak-anaknya untuk melempar batu.”
Apakah itu berarti semua tanggungan milisi ISIS yang ditahan di kamp-kamp tersebut jihadis garis keras? Tidak. Banyak yang telah diam-diam meninggalkan ideologi esktremis namun tetap terancam oleh fanatisme penegak ideologi ISIS perempuan.
Berdasarkan hukum khalifah, para penegak ideologi tersebut adalah bagian dari Hisbah, polisi moralitas perempuan yang memberikan hukuman yang keji. Saat ini, meski mendekam di balik kawat berduri di kamp, mereka masih secara efektif memainkan perannya dulu.
“Bagian dari proyek riset kami adalah menanyakan kisah-kisah para perempuan dan meminta mereka bersuara,” kata Speckhard. “Tapi mereka takut lantaran khawatir akan dihukum.
“Sehingga anak-anak mereka tumbuh dengan ketakutan, trauma dari keanggotaan ISIS mereka, dan trauma dari tinggal di kamp ini.”
Satu negara yang telah menyatakan keinginannya untuk menerima kembali warganya yang terkait dengan jihadis ISIS adalah Rusia, negara asal sejumlah besar jihadis asing ISIS yang datang dari wilayah konflik di Kaukasus utara.
“[Presiden Rusia] Vladimir Putin mendukung ide repatriasi para perempuan dan anak-anak,” kata Ekaterina Sokirianskaya, Direktur Pusat Pencegahan dan Analisa Konflik di St Petersburg.
“Ia telah membuat pernyataan yang jelas bahwa anak-anak tidak bertanggung jawab atas perbuatan orangtuanya dan Rusia tidak bisa meninggalkan mereka di zona perang.”
Secara umum, dari perspektif hukum, masalah jihadis IS yang ditinggalkan negara dapat dianalisa dari tiga aspek: legal, kemanusiaan, dan keamanan.
Dari aspek hukum, keputusan untuk meninggalkan ribuan orang, terutama anak-anak, dalam ketidakpastian dalam kamp-kamp tersebut, tanpa jaminan pengadilan, tidak dapat dibela.
Banyak jihadis, baik tentara maupun tanggungannya, mengatakan mereka siap pulang dan diadili, bahkan dipenjara.
Masalahnya, pemerintah negara-negara Barat khawatir memulangkan mereka –sebuah langkah yang sangat tidak populer di dalam negeri–kalau-kalau mereka tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk mengadili milisi ISIS. Jika demikian, pemerintah wajib mengembalikan mereka ke masyarakat.
Pemerintah juga khawatir dampak yang mungkin terjadi akibat adanya lonjakan jumlah tahanan jihadis radikal, yang telah bertempur di medan perang dan menghabiskan bertahun-tahun di Suriah dan Irak, di penjara-penjara yang sudah sangat penuh.
Dari sisi kemanusiaan, kritik terus mengalir dari lembaga-lembaga bantuan dan lainnya soal kondisi yang mengenaskan di kamp-kamp penjara yang sesak.
Dalam aspek ini, simpati publik di negara manapun di dunia mengingat mereka adalah anggota sebuah kultus kematian yang telah dengan kejam menyiksa banyak orang, serta memperbudak dan memerkosa anak perempuan yang paling muda berusia sembilan tahun.
Namun, otoritas moral Barat sebagian besar hilang di Timur Tengah setelah tahun 2001. Saat itu, AS melakukan “rendisi luar biasa” dan menerbangkan ratusan tersangka ke sebuah pangkalan angkatan laut tersembunyi di Teluk Guantanamo, Kuba, untuk dipenjara tanpa diadili terlebih dahulu.
Negara-negara Eropa, yang telah mengecam Teluk Guantanamo, beresiko dicap munafik jika mereka kini mengesampingkan isu soal warga-warganya yang terlantar hanya karena terlalu sulit menemukan solusinya.
Aspek terakhir adalah soal keamanan. Pada akhirnya pemerintah harus memilih mana yang lebih berbahaya: memulangkan warganya untuk diadili atau menelantarkan mereka.
Sejauh ini, lebih dari 400 warga Inggris telah kembali ke Inggris dari zona perang Suriah dan ancaman keamanan yang muncul dari mereka sangat sedikit.
Namun sebagian besar dari mereka pergi di masa-masa awal perang saudara Suriah.
Saat ini, MI5 (lembaga intelijens dalam negeri Inggris) dan polisi khawatir bahwa mereka yang masih ditahan di kamp-kamp tersebut akan teradikalisasi lebih jauh karena telah terekspos kekerasan ekstrim selama beberapa tahun.
Sokirianskaya, pengamat dari Rusia, mengatakan masalah ini perlu dibicarakan.
“Kita bahkan tidak membahas ini dari sudut pandang kemanusiaan. [Menyelesaikan masalah] adalah sebuah keharusan untuk mencegah lebih banyak gerakan jihadis ultra-radikan ke depannya karena mereka tumbuh dalam kondisi radikalisasi di kamp-kamp.”
Departemen Dalam Negeri di London mengatakan ingin melihat para tersangka kejahatan diadili di Irak dan Suriah.
Namun, apakah mungkin memisahkan para tanggungan dan memulangkan mereka, dan meninggalkan jihadis pria untuk diadili? Anne Speckhard yakin hal itu bisa dilakukan.
“Banyak perempuan, jika mereka sukses diadili, mungkin hukuman mereka akan ditangguhkan. Namun jika mereka dipenjara, setidaknya anak-anak mereka dapat mengunjungi mereka. Mereka tidak akan terjebak dalam bahaya di Suriah.
“Jadi langkah terbaik adalah memulangkan para ibu dan anak-anaknya bersama-sama. Namun jika itu tidak bisa dilakukan, setidaknya amankan anak-anak mereka.”
Apapun itu, jelas bahwa situasi yang terjadi saat ini tidak bisa dibiarkan.
Etnis Kurdi Suriah, yang memerangi ISIS dan kini menjaga kamp-kamp tersebut, punya masalah mereka sendiri.
Penarikan sebagian Pasukan Khusus AS oleh Presiden Donald Trump dari Suriah telah membuat mereka rentan diserang oleh pasukan Turki yang kian dekat.
Posisi Kurdi dalam hal tawanan ISIS asal Eropa sederhana: “Mereka datang dari negaramu. Kami tidak bisa menjaga mereka lebih lama lagi. Anda harus menerima mereka kembali.”
Sumber : BBC