ESENSINEWS.com – Kebijakan pelepasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi yang dilakukan Menkumham, Yasonna Laoly digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi III DPR Herman Herry meminta, agar publik melihat secara fair kebijakan asimilasi yang diambil Menkumham Yasonna Laoly tersebut. Terlebih dari sisi manfaat dan mudaratnya di masa pandemi Covid-19 saat ini.
“Terkait kebijakan asimilasi yang dibuat oleh Menkumham (Yasonna) publik harus fair dalam melihat antara manfaat dan mudarat dalam situasi krisis Covid-19 saat ini,” kata Herman, dikutip Harianterbit.com, Senin (27/4/2020).
“Berapa jumlah yang dibebaskan dan berapa jumlah atau berapa persen yang membuat ulah dengan kembali melakukan kejahatan,” lanjut politikus senior PDI Perjuangan dari Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.
Herman menjawab diplomatis ketika ditanya soal adanya indikasi ketidakadilan, atas penerapan kebijakan pembebasan napi yang berbuntut pada kerusuhan di beberapa lembaga pemasyarakatan.
“Kalau rasa adil dan tidak adil sulit kita bicara karena keadilan yang hakiki hanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Selama kebijakan itu dari manusia, siapa pun dia pasti akan menimbulkan ada yang merasa puas dan adil, juga akan ada sebaliknya,” ujar Herman.
Mesk demikian, Herman tidak mempersoalkan adanya warga negara yang melakukan gugatan terhadap kebijakan Menkumham Yasonna itu. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.
“Oleh sebab itu siapa pun warga negara Indonesia jika merasa tidak puas atas sebuah kebijakan pemerintah, maka terbuka kemungkinan untuk menempuh jalur hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku,” kata Herman.
Herman mengatakan, bila pemerintah merasa perlu dibentuknya tim pengawas terkait kebijakan asimilasi, maka Komisi III DPR tidak berkeberatan selama tujuannya untuk kemaslahatan bangsa dan negara.
Herman juga mempersilakan Kemenkumham melakukan koreksi terhadap kebijakannya bila merasa hal tersebut diperlukan. “Silakan Menkumham lakukan koreksi jika diperlukan karena hal tersebut ada pada ranah pemerintah,” demikian Herman.
Seperti diketahui Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia menggugat kebijakan pembebasan napi lewat program asimilasi dan integrasi. Selaku tergugat ialah kepala Rutan Surakarta, kepala Kanwil Kemenkumham Jateng, dan Menkumham.
Ketua Umum Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997 Boyamin Saiman mengatakan bahwa gugatan itu sudah didaftarkan di PN Surakarta, Kamis 23 April 2020.
“Telah dilakukan gugatan perdata terkait kontroversi kebijakan pelepasan napi (asimilasi oleh Menkumham) di mana para napi yang telah dilepas sebagian melakukan kejahatan lagi dan menimbulkan keresahan pada saat pandemi corona,” kata Boyamin, Minggu 26 April 2020.
Ia mengatakan untuk mengembalikan rasa aman maka pihaknya menggugat Menkumham Yasonna, agar menarik kembali napi asimilasi dan dilakukan seleksi serta psikotes secara ketat bila hendak melakukan kebijakan tersebut.
Boyamin menjelaskan napi asimilasi yang dilepas harus memenuhi syarat, yakni berkelakuan baik berdasar tidak ada catatan pernah melanggar selama dalam lapas (register F), dan membuat surat pernyataan tidak akan melakukan kejahatan lagi.
Menurut Boyamin, materi gugatan ini ialah para tergugat salah hanya menerapkan syarat tersebut secara sederhana, tanpa meneliti secara mendalam watak napi dengan psikotes sehingga hasilnya napi berbuat jahat lagi.
“Jadi, yang dipersalahkan adalah teledor, tidak hati-hati dan melanggar prinsip pembinaan pada saat memutuskan napi mendapat asimilasi,” ungkapnya.