Surat Terbuka Kepada Yth.
Bapak Presiden Republik Indonesia
Ir. Joko Widodo
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Perkenalkan pak, nama saya Riyan Hidayat. Tentu saja bukan siapa-siapa, melainkan hanyalah warga negara biasa yang senantiasa mengagumi anda dan memberanikan diri terlibat menjadi relawan pada pilpres 2019 lalu dalam kelompok Relawan Indonesia Jokowi (RELIJI). Bersama kawan-kawan lainnya saya ikut serta keliling mengkampanyekan program-program unggulan anda. Saat itu terpikir oleh saya bahwa di periode kedua nanti, anda akan membuat Indonesia lebih baik. Tidak terpikir saat itu bagaimana jadinya jika anda kalah. Saya dan kawan-kawan lainnya percaya pada janji anda terkait “penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya” dan “pengelolaan pemerintah yang bersih, efektif dan terpercaya”.
Namun berselang waktu, anda mengisi struktur pemerintahan dengan orang-orang yang terjerat dosa masa lalu. Awalnya, saya tidak mempermasalahkannya karena pada saat yang bersamaan masih ada kementerian lain yang diisi dengan orang-orang hebat. Namun pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK mulai memicu sejumlah pertanyaan dalam benak saya tentang apa yang hendak anda capai pada periode kedua ini. Ketika gelombang kritik tertuju pada anda dengan #Reformasidikorupsi saya masih menyisakan sedikit kepercayaan pada anda. Saya berharap keberanian anda untuk memilih mendengarkan dan berpihak pada rakyat. Dibanding kawan-kawan lainnya yang sudah berbalik menyerang pemerintahan anda, saya masih berupaya memahami langkah yang anda ambil. Namun ketegasan anda tidak kunjung muncul. Diperparah dengan kasus gagal bayar Jiwasraya dan Asabri yang menguap begitu saja dan kesaktian seorang Harun Masiku yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Belum terlalu lama berselang, ide Omnibuslaw terkait RUU Cipta Kerja yang anda ajukan membuat hampa mimpi kami yang tertuang dalam empat misi anda sekaligus, yakni tentang “mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan; sinergi pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan; struktur ekonomi yang produktif, mandiri dan berdaya saing, dan; pembangunan yang merata dan berkeadilan”. Bagi saya, RUU tersebut justru kontraproduktif dengan visi dan misi anda saat kampanye. Alih-alih meringkas aturan-aturan yang sangat banyak, RUU tersebut justu melonggarkan aturan lingkungan hidup, menghilangkan sejumlah jenis perizinan, melemahkan sanksi dan memberi keluasaan investasi. Hal itu semata-mata untuk mengejar statistik pertumbuhan ekonomi yang seringkali anda sampaikan. Tetapi prioritas ekonomi yang anda pilih melupakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Tidak hanya itu, sejumlah pasal memberikan kewenangan pusat yang berlebih sehingga memperlemah otonomi daerah. Kewenangan sentralistik dan prioritas ekonomi yang berlebih itu justru mengesankan gejala-gejala Orde Baru, yang mengesampingkan peran otonomi daerah, yang sejak awal saya dan kawan-kawan lainnya hindari.
Bapak Presiden, saya masih percaya dengan data ekonomi yang disajikan. Ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,02 persen Kuartal III-2019 jauh dari janji yang anda ikrarkan sebesar 7 persen itu, bahkan melambat bila dibandingkan kuartal III tahun 2018. Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 ini? Memang berat pak, memaksakan optimisme ditengah ancaman dan potensi kehancuran. Bahkan saya belum sempat mempertanyakan aspek pemerataan dan keadilan kepada anda, karena saya tahu jawabannya bisa saya dapat dari rakyat yang merasakan.
Bapak Presiden, saya tahu tugas anda berat, dan oleh karena amanah berat itulah saya kira anda mau mengabdi menjadi presiden, dan bukan karena fasilitasnya, bukan karena nafsu kekuasaan dan bukan karena bisikan para oligarki yang hanya ingin mengembangkan usahanya semata?
Bapak Presiden, belakangan ini Indonesia mengalami musibah yang seolah tiada berhenti. Mulai dari banjir, kebakaran hutan dan lahan, longsor, angin puting beliung, dan gempa bumi. Bahkan disaat musim hujan yang marak pada awal tahun 2020 ini terdapat satu wilayah yang dilanda bencana kekeringan, seperti yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan, sekitar Oebelo. Selanjutnya yang kini menghebohkan kita adalah kasus wabah Virus Covid-19 atau Virus Corona yang terhitung hingga tanggal 23 Maret 2020 setidaknya telah membuat 49 nyawa melayang dengan 579 kasus pasien positif corona. Tentu kita semua berduka akan bencana tersebut dan berdoa semoga negeri kita lekas pulih dari bencana demi bencana yang melanda.
Sejak awal, saya tidak sedikitpun menduga kondisi seperti ini. Ditengah-tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi dan turunnya kepercayaan masyarakat akibat struktur kementerian, pengesahan RUU KPK dan hendak disahkannya RUU Cipta Kerja. Saat ini kepemimpinan anda juga diuji dengan wabah Covid-19. Rasa kemanusiaan anda tidak sedikitpun saya pertanyakan, begitupun dengan niat baik anda dalam penangan virus ini. Namun masalah kepemimpinan lebih dari itu, semakin hari rakyat mulai gelisah dan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam penangan wabah ini. Saya tidak bisa menyalahkan rakyat, bagaimanapun mereka mendengar para menteri yang berkelakar sedari awal mengecilkan virus ini. Rakyat juga menyaksikan secara langsung bagaimana upaya pemerintah dari hari ke hari. Selain himbauan, masyarakat juga butuh upaya nyata, sebagaimana yang selalu anda tunjukan dalam pengawasan proyek dan saat kampanye. Rakyat justru melihat keseriusan dari gubernur DKI Jakarta, tanpa berniat membandingkan namun rakyat kembali terpecah dihadapkan dengan pilihan antara percaya pada pusat atau instansi lokal. Saya sendiri menolak pandangan itu, bagaimana pun ini kasus bersama. Namun satu sisi saya mesti sepakat bahwa sejak awal pemerintah pusat lamban menanggulangi wabah ini.
Di era informasi yang sangat terbuka ini, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi termasuk statistik penangan Covid-19. Kita juga mencari informasi tentang bagaimana kebijakan negara lain, tidak sedikit dari mereka yang sukses menurunkan angka korban Covid-19. Ditengah-tengah himbauan Sosial Distancing, publik memiliki waktu banyak mencari informasi dan membandingkan kebijakan sejumlah negara dan pada akhirnya mempertanyakan kenapa kita tidak dapat seperti mereka? Tentu saja ini masalah global atau pandemik, namun pada saat yang bersamaan pemerintah pusat masih saja memprioritaskan pembangunan ekonomi lewat berbagai mega-proyek. Kendatipun hal itu penting namun justru semakin melemahkan kepercayaan rakyat pada pemerintah pusat. Padahal banyak dari komponen masyarakat menggalang bantuan dengan menyebarkan masker atau sanitizer dengan gratis. Beberapa ilmuwan berusaha membuat vaksin dan para petugas medis tidak kenal lelah membantu di garda terdepan. Mereka mestinya jauh lebih diprioritaskan dibanding megaproyek dana 298,5 Miliar untuk wisatwan mancanegara termasuk 74 Miliar bagi influencer atau Buzzer. Saya mulai bertanya, kenapa anggaran tidak dimaksimalkan pada mereka yang bertugas di bidang kesehatan, penelitian vaksin? atau memberikan subsidi pada UMK-M yang mau memproduksi alat kesehatan?
Bapak Presiden, saya yang beberapa waktu lalu berkomentar di salah satu unggahan akun anda di Instagram berkaitan dengan Corona, “saran saya bapak mundur aja pak kalau udah ngga ngerti pimpin Republik ini. Berapa nyawa yg melayang karna kebodohan antisipasi”. Itulah spontanitas saya sebagai seorang aktivis. Dan saya sama sekali sadar mengungkapkannya. Ungkapan itu adalah puncak dari beberapa kekecewaan yang saya jelaskan diatas. Ungkapan itu adalah pertanda dari bacaan saya yang melihat pemerintahan yang anda pimpin hanya berorientasi kepada politik akomodatif, politik bagi-bagi, yang sayangnya bagi-bagi itu hanya berkutat pada kekuasaan oligarki. Soal Covid-19, strategi dan rencana pemerintah terkait penanganan belum mampu diikuti dengan baik oleh masyarakat disamping saya menduga banyaknya informasi yang ditutup-tutupi. Tentu saja sebagaimana saya jelaskan bahwa kepercayaan masyarakat menurun bahkan sebelum Covid-19 mewabah. Ekonomi memang penting pak, tetapi keselamatan seluruh rakyat Indonesia harus jadi prioritas utama.
Bapak presiden, saya dengar bapak membeli alat Rapid Test dari Cina sebanyak satu juta kit dengan pembelian tahap awal 500 ribu kit yang sampai sekarang harga resminya pun masih dirahasiakan. Saya dengar juga alat tersebut hanya memiliki tingkat akurasi 70 persen dan untuk mencapai tingkat kepastiannya harus tes lagi dengan cara SWAB lendir menggunakan PCR yang baru tersedia di 12 Rumah Sakit rekomendasi Kemenkes. Lalu apa guna impor alat tersebut dari Cina pak?
Bapak Presiden, sekali lagi saya sampaikan, sebagai masyarakat kami ikut membantu kesadaran satu sama lain dengan berusaha semaksimal mungkin dengan segala keterbatasan berada di rumah saja, rajin mencuci tangan dan hand sanitizer yang sudah menjadi barang langka, memakai masker yang sulit dicari dan dengan harga yang tinggi, menjaga jarak sosial, dan menjaga kesehatan. Peran-peran itu bisa kami lakukan pak. Tetapi, peran pemerintah tidak boleh sekedar itu saja. Harus ada langkah berani dan serius dari pemerintah, misalnya; sediakan Bilik Disinfektan di seluruh tempat-tempat vital seperti terminal, bandara, pelabuhan, tempat perbelanjaan, dan tempat umum lainnya, yang kalau kita lihat di Vietnam ada di banyak titik, tetapi di Indonesia saya tahu hanya ada di Istana Presiden saja. Kemudian lakukan tes secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia. Seluruhnya. Sekiranya APBN tidak sanggup membiayainya, tak bisakah anda kumpulkan orang-orang terkaya di Republik ini untuk ikut meringankan? Layaknya dulu ketika kampanye pilpres mereka sanggup melakukan itu? Apakah mereka sebenarnya tidak peduli juga dengan wabah ini pak?
Selanjutnya, jika kondisi masih terus belum menuai hasil yang baik, sebagai pemimpin yang hebat, maka kebijakan Lockdown haruslah berani anda tempuh. Risiko ekonominya memang tinggi pak. Tetapi, apalah arti keuntungan ekonomi jika dipertukarkan dengan nyawa dan kesehatan seluruh Rakyat Indonesia?
Akhirnya, saya pikir masalah di internal pemerintahan anda bisa dua hal, pertama struktur yang anda bentuk (tim kepersidenan atau dalam hal ini menteri dan strukutur dibawahnya), dan kedua, kepemimpinan anda sendiri. Saya kira banyak anak bangsa yang cerdas, tulus bahkan tanpa jabatan pun mereka berpartisipasi membantu sesama warganya. Tapi lagi-lagi, dibanding mengumpulankan orang-orang cerdas dan mensupport bantuan mereka, anda masih sekedar percaya pada para menteri. Jika memang restrukturasi tidak juga menjadi pilihan anda maka jangan salahkan kalau pada akhirnya masyarakat mempertanyakan kepemimpinan yang anda pimpin.
Bapak Presiden, saya juga disadarkan dengan anggaran influencer 72 Miliar itu dibuat untuk menghadapi orang seperti saya, bersuara yang ala kadarnya, tidak mendesak dan hanya berujar saran, dibilang bodoh, tolol, engga ada otak, bacot, pendukung pak Anies Baswedan, suruh pindah negara, bahkan ada juga yang kirim salam ke ibu bapak saya di kampung dan ungkapan-ungkapan lainnya yang saya tidak sempat baca. Apakah demikian istana melayani kritik, pak?
Saya berpikir saya harus bersuara hari ini. Jangan sampai ketika hari yang tidak kita harapkan itu muncul dan terjadi, kita sudah tidak sanggup bicara, terlambat antisipasi, terlambat mencari solusi, dan bahkan untuk menyesal pun di hari itu kita sudah terlambat.
Kondisi semacam ini memang bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Saya hanya ingin ikut saling menyadarkan bahwa pemerintah mestinya bisa berbuat lebih dari hanya sekedar himbauan. Keadaan ini tidak boleh ditanggapi ala kadarnya. Jangan sekedar membuat masyarakat takut dan bingung tanpa tindakan yang jelas dirasakan melayani dan melindungi.
Bapak Presiden, jangan tunggu seratus, seribu atau bahkan sepuluh ribu nyawa melayang dulu. Jikalau rencana kebijakan yang akan anda lakukan itu masih belum jelas dan tidak sanggup menjamin keselamatan hidup dan kesejahteraan rakyat, maka saran mundur dari jabatan Presiden mungkin bisa dipertimbangkan lebih awal. Selanjutnya kita ingin mendengar DPR, Partai Politik, dan rakyat bersuara.
Ciputat, 24 Maret 2020
Salam,
Riyan Hidayat,
Aktivis, Presiden Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta