ESENINEWS.com – Dalam Omnibus Law terkait soal upaya nenarik investasi di sektor migas, maka Pemerintah tidak perlu membentuk Perusahaan Migas Baru yang khusus mengelola Sektor hulu dengan merubah status SKK Migas yang ada saat ini.
Demikian dijelaskan Pengamat Energi yang juga mantan Anggota Komisi VII DPR – RI (2014 -2019) dari Fraksi Nasdem, Kurtubi, di Jakarta, Minggu (1/3), terkait dengan wacana pemerintah yang ingin membentuk BUMNK, akhir-akhir ini.
“Langkah ini akan menciptakan 2 BUMN Migas yang dalam pengalaman sejarah perminyakan ditanah air, sudah terbukti tidak efisien selain akan menjadi kontra produktif dalam menarik investasi,” katanya.
Menurutnya, merubah SKK Migas menjadi BUMK secara etika dan hukum tidak tepat. Karena SKK Migas ini adalah nama baru dari BP Migas yang oleh Mahkamah Konstitusi sudah dibubarkan karena melanggar konstitusi.
“Kehadiran BP Migas/SKK Migas justru telah menciptakan sistem/proses investasi migas menjadi berbelit-belit dan birokratik, sehingga investasi explorasi turun dratis yang berakibat produksi migas saat ini sangat rendah,” katanya.
Selain itu, memisahkan kegiatan hulu migas (eksplorasi dan exploitasi) dengan kegiatan hilir migas (refinery, distribusi dan retail BBM) ke dalam 2 perusahaan yang berbeda, yang di dalam Petroleum Economics dikenal sebagai sistem UNBUNDLING, pasti tidak efisien bila dibanding dengan sistem yang terintegrasi (integrated national oil company).
“Saya menyarankan agar Umnibus law yang terkait dengan upaya penyederhanaan di sektor migas, maka sebaiknya disempurnakan dengan tambahan pasal atau ayat tentang definisi BUMK sebagai berikut: ‘Bahwa yang dimaksud dengan BUMK dalam Undang-Undang ini adalah PT Pertamina Persero yang ada saat ini yang dibentuk dengan Akte Notaris, kemudian dirubah menjadi ‘Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA)’ yang dibentuk dengan Undang-Undang ini,” ujarnya.
Sejarah Perminyakan Indonesia
Pakar energi, alumnus Colorado School of Mines, Amerika Serikat dan Ecole Nationale Superieure du Peterole et des Moteurs – IFP, Perancis serta Universitas Indonesia ini menjelaskan, dalam sejarah perminyakan, Indonesia pernah punya 3 BUMN Migas, yakni Permina yang bergerak di hulu, Pertamin bergerak dihilir dan Permigan bergerak di Cepu. Ketiga BUMN lahir ditengah proses pengambil alihan aset-aset perminyakan Belanda ke tangan pejuang-pejuang perminyakan.
Namun dalam perjalanannya, timbul inefisiensi dan ketidaksinkronan karena terpisahnya pengelolaan hulu (explorasi dan produksi minyak mentah dan gas) dengan pemenuhan kebutuhan BBM rakyat (sisi hilir), selain perlunya memperkuat Pertamina untuk menarik investasi dari luar yg membutuhkan adanya kepastian hukum. Sehingga dipandang perlu kegiatan usaha hulu (ex Permina) digabung dengan usaha hilir (ex Pertamin) dan ditunjang dengan Pusat Pendidikan Perminyakan di Cepu (ex Permigan).
Dibawah payung Undang-undang Pertamina No.8/1971. Pertamina menjelma menjadi NOC yang disegani oleh semua perusahaan minyak dunia termasuk oleh 7 Perusahaan minyak raksasa dunia – The Seven Sisters (Exxon, Mobil, Chevron, Gulf, Shell, BP, dan Texaco). Bahkan model pengelolaan dengan Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) telah ditiru oleh sekitar 50 negara penghasil migas didunia.
Era sekitar tahun 1970 – 1990, produksi minyak meningkat dari sekitar 200.000 bph melejit menjadi sekitar 1.6 juta bph, Indonesia menjadi negara pengekspor LNG terbesar di dunia. Pertamina telah berhasil menjadikan sektor migas menjadi sumber utama perolehan devisa dan penerimaan APBN. Meskipun krisis moneter yg terjadi pada tahun 1998 bukan karena sektor perminyakan nasional.
Namun pihak IMF – Lembaga Keuangan Internasional, dimana Pemerintah R.I. meminta batuan finansial untuk mengatasi krisis, IMF lewat LOI ( Letter of Intent) meminta agar Pemerintah RI mengganti Undang-undang Pertamina No.8/1971 dengan undang undang yang sekarang kita kenal sebagai Undang-Undang Migas No.22/2001.
“Sejak tahun 1998, sebelum RUU Migas disyahkan menjadi undan-undang pada tahun 2001, saya sudah mangigatkan lewat media cetak nasional bahwa jika RUU Migas disyahkan menjadi UU, maka yang akan dirugikan bukan hanya Pertamina tapi juga negara yang akan dirugikan,” katanya.