WHO mengatakan tidak memiliki bukti meyakinkan bahwa 1,1 miliar orang berisiko mengalami masalah pendengaran. Namun, pejabat teknis WHO untuk pencegahan ketulian dan gangguan pendengaran Shelly Chadha mengatakan angka itu berdasarkan studi yang dilakukan empat tahun lalu.
Studi itu, menurut Chadha berfokus pada kebiasaan anak muda dan volume suara yang umumnya mereka dengarkan. Ia mengatakan informasi ini sangat berharga dalam mencari solusi untuk mencegah gangguan pendengaran.
“Jadi, upaya kami melalui standar ini sebenarnya memberdayakan pengguna untuk membuat pilihan dan keputusan mendengarkan yang tepat dan baik untuk mendengarkan dengan aman atau berisiko terkena gangguan pendengaran dan tinnitus kelak” kata Shelly Chadha.
Rekomendasi utama untuk mendengarkan musik dengan aman termasuk memiliki perangkat lunak pada perangkat audio pribadi yang mengukur berapa lama dan seberapa keras pengguna mendengarkan musik. Mereka juga menghimbau sistem pengurangan volume otomatis pada telepon cerdas dan perangkat lain, serta kontrol volume oleh orang tua.
Badan-badan PBB berharap pemerintah dan produsen akan melaksankan standar yang disarankan, karena gangguan pendengaran yang melumpuhkan akan meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang.
WHO dan ITU melaporkan 466 juta orang mengalami cacat pendengaran tersebut, sebagian besar di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Diperkirakan jumlahnya akan meningkat menjadi lebih dari 900 juta orang pada tahun 2050. Badan-badan tersebut mengatakan separuh dari semua kasus gangguan pendengaran bisa dicegah melalui langkah-langkah kesehatan masyarakat.
Sumber : VOAIndonesia