Esensinews.com— Menyerang media massa dengan tuduhan tidak obyektif kemudian memboikotnya adalah praktik yang sebaiknya tidak dilakukan oleh politisi ataupun pejabat publik. Kepercayaan publik terhadap media massa dapat berkurang. Padahal, di tengah banjir informasi, peran pers dan media massa menjadi semakin dibutuhkan dalam kerja bersama melawan hoaks.
Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Menakar Kapabilitas Capres-Cawapres dalam Perspektif Media Massa” di Jakarta, Jumat (25/1/2019). Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto, Direktur Indonesian Public Insititute Karyono Wibowo, dan Redaktur Politik Harian Rakyat Merdeka Siswanto hadir sebagai pembicara.
Tri Agung mengatakan, keberadaan media sosial memungkinkan terjadinya banjir informasi, baik yang benar maupun yang bohong. Untuk itu, peran media massa konvensional atau arus utama menjadi semakin penting bagi masyarakat.
Kewajiban jurnalistik untuk melakukan verifikasi (cover both sides) menjadi pembeda akurasi dan kualitas media massa arus utama dengan media sosial. Kewajiban jurnalistik ini memberikan kemampuan media massa konvensional berfungsi sebagai verifikator kebenaran berbagai informasi yang beredar di media sosial.
”Media arus utama berfungsi sebagai penjernih dari berbagai kebisingan di media sosial,” kata Tri Agung.
Mereka yang ingin menjadi pemimpin seharusnya memanfaatkan media massa untuk berbicara dengan warga. Media massa adalah cermin dari masyarakat.
Untuk itu, tindakan-tindakan yang berupaya untuk mendelegitimasi media massa konvensional dan bahkan mengadu domba dengan masyarakat tidaklah patut untuk dilakukan, terlebih lagi oleh seorang politisi.
Apabila ia merasa keberatan dengan suatu pemberitaan, hal tersebut dapat disampaikan melalui mekanisme hak jawab.
”Mereka yang ingin menjadi pemimpin seharusnya memanfaatkan media massa untuk berbicara dengan warga. Media adalah cermin dari masyarakat,” kata Tri Agung.
KOMPAS/KELVIN HIANUSA
Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Tri Harijono menceritakan pengalaman dalam penyuntingan berita sebelum naik ke percetakan kepada tim humas PT Indofood di Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Menurut Tri Agung, komitmen media massa untuk tidak partisan juga harus semakin diperhatikan. Jika menjadi partisan, media massa tersebut akan selayaknya media sosial dan tidak dapat melayani masyarakat dengan utuh.
Hasil akhirnya, media massa tersebut akan ditinggalkan oleh pembaca ataupun penontonnya.
Kritik konstruktif
Hal senada juga disampaikan Siswanto. Ia mengatakan, jika seorang politisi yang sedang berkontestasi benar-benar berkomitmen menjaga kebebasan pers, ia akan melihat pemberitaan yang disampaikan media massa sebagai kritik yang konstruktif.
”Kalau tidak mau mendapat pemberitaan yang negatif, berarti ketika berbicara di publik harus dengan perkataan dan data yang sudah diteliti secara saksama,” kata Siswanto.
Kalau tidak mau mendapat pemberitaan yang negatif, ya berarti ketika berbicara di publik harus dengan perkataan dan data yang sudah diteliti secara saksama.
Sementara itu, selain berbahaya bagi masyarakat sipil, tindakan dan perkataan yang mendelegitimasi pers juga dapat berakibat buruk pada politisi tersebut.
Karyono mengatakan, upaya semacam itu dapat mengurangi basis dukungan dari politisi tersebut, terlebih lagi, pada kelompok masyarakat yang peduli dengan isu hak asasi manusia dan kebebasan pers. ”Masyarakat yang menginginkan kebebasan pers tidak akan memberikan dukungan,” kata Karyono.
Editor : Divon