Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Dalam RDP dengan Komisi III DPR, Mahfud MD mengungkap banyak hal, antara lain dugaan pencucian uang Rp189 triliun terkait impor emas batangan. Kasus ini sudah dilaporkan PPATK kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada 2020.
Sebelumnya, kasus sejenis senilai Rp180 triliun juga sudah dilaporkan PPATK kepada DJBC pada 2017. Kedua kasus ini diduga dilakukan pihak yang sama.
Menurut Mahfud, perusahaan tersebut melakukan impor emas dalam bentuk batangan. Tetapi di dalam dokumen diakui sebagai emas mentah sehingga tidak perlu bayar bea masuk. Katanya, emas mentah tersebut diproses menjadi emas batangan di Surabaya. Setelah diselidiki, ternyata tidak ada.
Kasus tindak pidana ini nampaknya terbengkalai. Sri Mulyani mengaku tidak tahu dan tidak pernah menerima laporan kasus tindak pidana impor emas ini.
Beberapa pejabat eselon satu yang ikut mendampingi Sri Mulyani juga mengaku tidak tahu tentang laporan PPATK tersebut.
Tetapi, dalam sekejap, pejabat pajak dan bea cukai mendadak fasih menjelaskan kasus dugaan tindak pidana impor emas Rp189 triliun ini.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askaloni dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menerangkan, Bea Cukai Soekarno Hatta sempat menindak satu perusahaan yang melakukan ekspor emas pada 2016, dengan terdakwa satu orang, bukan perusahaan. Sangat aneh, kenapa yang didakwa perorangan?
Di pengadilan negeri, bea cukai kalah di 2017. Kemudian bea cukai mengajukan kasasi, dan menang.
Tetapi, yang bersangkutan kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) di 2019. Hasilnya, Bea Cukai kalah sehingga yang bersangkutan dinyatakan bebas.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230331133425-532-931876/bea-cukai-kalah-sidang-kasus-emas-jadi-ihwal-transaksi-janggal-rp189-t/amp
Belajar dari kasus ini, pihak bea cukai kemudian memutuskan tidak ada pelanggaran kepabeanan atas impor emas batangan senilai Rp189 triliun tersebut.
https://amp.kompas.com/money/read/2023/03/31/152107626/penjelasan-kemenkeu-soal-dugaan-tppu-bea-cukai-senilai-rp-189-triliun
Masyarakatpun terheran-heran dengan keterangan kedua pejabat teras kementerian keuangan ini, karena sangat janggal dan sulit diterima.
*Pertama*, kementerian keuangan awalnya mengaku tidak menerima laporan dari PPATK. Tetapi sejurus kemudian mengatakan sudah dilakukan asesmen pada tahun 2020 yang lalu, dengan kesimpulan bahwa importir emas batangan tersebut tidak melakukan pelanggaran. Aneh bin ajaib!
*Kedua*, kasus yang diterangkan oleh Dirjen Bea Cukai maupun Wakil Menteri Keuangan adalah kasus *ekspor* emas batangan yang di dalam dokumen diakui sebagai emas perhiasan, sebanyak 218 kg dengan nilai 6,8 juta dolar AS.
Sedangkan kasus Rp189 triliun yang dibongkar Mahfud merupakan kasus *impor* emas batangan yang di dalam dokumen ditulis impor emas mentah.
Kedua kasus ini jelas tidak sama. Yang satu ekspor, yang satu impor. Bagaimana bisa dijadikan referensi?
*Ketiga*, Suahasil Nazara mengatakan telah mengevaluasi kasus dugaan tindak pidana impor emas Rp189 triliun *bersama* PPATK, dan menyatakan tidak ada tindak pidana kepabeanan. Sedangkan PPATK mengatakan sebaliknya, kasus ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh kementerian keuangan. Jadi, pernyataan Suahasil Nazara terkesan bohong!
Tidak pernah ada pernyataan dari Ivan yang membenarkan pernyataan Suahasil Nazara, bahwa tidak ada tindak pidana kepabeanan terkait dugaan pencucian uang impor emas Rp189 triliun ini.
Bahkan Ivan mengatakan ada perubahan pola impor oleh importir terlapor, karena yang bersangkutan sudah mengetahui transaksinya masuk radar PPATK. Artinya, ada yang bocorkan laporan PPATK kepada yang bersangkutan. Siapa?
Kemungkinan besar oknum di DJBC, karena laporan ini diberikan kepada DJBC sebagai penyidik pidana asal.
Membocorkan laporan PPATK merupakan tindak pidana, maka itu harus diusut tuntas.
https://amp.kompas.com/nasional/read/2023/03/29/23052501/soal-dugaan-pencucian-uang-impor-emas-rp-189-triliun-di-bea-cukai-ppatk
*Keempat*, Suahasil Nazara mengatakan TPPU selalu berkaitan dengan tindak pidana asal (TPA). Ketika TPA tidak terbukti oleh pengadilan, maka TPPU tidak maju. Ini menyesatkan. Pasal 69 UU No 8 tahun 2010 menyatakan, penyidikan atau penuntutan tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Jadi, semakin diterangkan, dugaan pencucian uang si kementerian keuangan ini semakin gelap, semakin kabur, seperti ada yang mau ditutupi.
Kasus dugaan manipulasi impor emas batangan ini berlanjut terus. Pada 2021 ada kasus sejenis senilai Rp47,1 triliun. Terhenti.
Sekali lagi, Mahfud wajib membersihkan kementerian keuangan dari para mafia pencucian uang. Masyarakat mendukung penuh.