Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Pemilihan Presiden (pilpres) 2024 masih lama. Tapi temperatur pilpres sudah memanas. Beberapa nama bakal calon presiden sudah disebut.
Ada nama Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra, yang dinobatkan capres 2024 oleh Gerindra dan PKB. Kedua partai ini sudah memenuhi kuota presidential threshold 20 persen. Penunjukan capres dari Gerindra dan PKB ini biasa-biasa saja, tidak mengundang heboh. Memang seharusnya seperti itu, karena pilpres adalah peristiwa normal yang berulang setiap lima tahun.
Kemudian NasDem membuat kejutan, menunjuk Anies Baswedan sebagai Capres 2024, tanpa koalisi dengan partai lain, sehingga belum memenuhi kuota presidential threshold 20 persen.
Pencapresan Anies langsung menjadi sorotan publik, menjadi magnet berita. Mungkin karena Anies dianggap sebagai simbol di luar kekuasaan. Bahkan sepertinya dimusuhi. Itu persepsi publik.
Meminjam bahasa Zulfan Lindan, Anies dapat dikatakan sebagai antitesis Jokowi. Ungkapan yang sangat tepat, jujur dan mengandung kebenaran yang sulit dibantah.
Tapi kejujuran dan kebenaran tersebut malah “dikriminalisasi”. Beredar surat dari pengurus NasDem bahwa Zulfan Lindan dinon-aktifkan dari kepengurusan partai. Dengan kata lain dipecat. Padahal, menurut Zulfan Lindan, yang bersangkutan sudah mengundurkan diri dari susunan pengurus partai sejak April 2020.
Pilpres 2024 merupakan kontestasi anak bangsa untuk memajukan Indonesia, dan pasti terjadi setiap lima tahun sekali. Kontestasi pilpres 2024 ini tidak ada hubungan dengan Jokowi, karena Jokowi sudah tidak bisa lagi menjadi calon presiden 2024. Artinya, masa Jokowi sudah berakhir. Histori. Seperti juga SBY. Ini fakta yang harus disadari dan diterima oleh semua orang.
Untuk memenangkan pilpres 2024, calon presiden dan partai pengusung bebas memilih strategi, bagaimana membawa Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Mereka bisa memilih melanjutkan program pembangunan ekonomi, sosial dan politik ala Jokowi.
Atau mereka bisa memilih jalan yang sangat berbeda dengan yang sekarang dilaksanakan Jokowi. Artinya, antitesis Jokowi.
Atau, capres lain mungkin mau kombinasikan jalan baru dan jalan lama. Semua bebas memilih strategi.
Setiap pergantian pemerintahan umumnya juga diikuti dengan pergantian kebijakan, agar dapat lebih memajukan bangsa dan negara.
Apakah mau memilih strategi antitesis, atau strategi “membebek”, itu pilihan masing-masing capres dan partai pengusung, dan akhirnya rakyat yang akan menentukan.
Selamat berkontestasi pemilihan presiden 2024. Selamat merayakan pesta demokrasi, kalau masih ada.