Oleh Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies
RI, Republik Impian, sebuah negara subur dan kaya minyak bumi. Presiden RI saat itu sangat bijak dan pro rakyat, namanya Presiden Bijak. Semua kekayaan alam RI adalah milik rakyat, karena itu wajib digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Biaya untuk menghasilkan minyak bumi (biaya lifting), ditambah biaya proses untuk menjadi BBM (biaya refinery) hanya 10 dolar AS per barel. Sedangkan biaya distribusi dan lain-lain sekitar satu dolar AS per barel. Sehingga biaya perolehan (harga pokok) BBM sampai ke SPBU hanya 11 dolar AS per barel, atau sekitar Ri1.037 per liter (kurs Ri15.000 per dolar AS, 1 barel = 159 liter).
Presiden Bijak memutuskan menjual BBM di dalam negeri dengan harga Ri1.200 per liter, untung hampir 20%, sangat memuaskan.
Untuk distribusi BBM ke masyarakat, pemerintah menugaskan perusahaan negara, Pertabumi. Harga jual BBM ditetapkan oleh pemerintah, dan Pertabumi wajib mentaatinya. Semua uang hasil penjualan BBM kemudian harus di setor ke rekening keuangan negara. Dalam hal ini, Pertabumi tidak memperoleh laba.
Jumlah produksi BBM Ri stabil di 100 miliar liter, sehingga Pendapatan Negara dari BBM mencapai Ri120 triliun (Ri1.200 dikali 100 miliar liter).
Entah mendapat bisikan dari mana, Bendahara Umum Ri mengatakan kepada Presiden Bijak bahwa harga BBM internasional adalah Ri5.000 per liter. Kalau Ri bisa menjual BBM dengan harga internasional ini, maka Pendapatan Negara dari BBM mencapai Ri500 triliun (Ri5.000 x 100 miliar liter).
Presiden Bijak bingung, planga-plongo, kemudian mengatakan: “bagaimana bisa?” Pertabumi wajib menjual BBM kepada masyarakat dengan harga Ri1.200 per liter, sesuai janji Presiden bahwa BBM digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bendahara Umum Ri mengatakan tidak masalah, Pemerintah akan mengganti kerugian Pertabumi yang mencapai Ri3.800 per liter, atau total Ri380 triliun. Presiden Bijak kemudian bisa tampil sebagai super hero di mata publik, mengumumkan bahwa nilai subsidi BBM mencapai Ri380 triliun: secara kesuruhan, Pendapatan Negara sama saja, yaitu Ri120 triliun: Pendapatan dari hasil jual BBM oleh Pertabumi sebesar Rp500 triliun dikurangi subsidi kepada Pertabumi Rp380 triliun.
Presiden Bijak menolak usulan tersebut. Presiden mengatakan, apa yang diusulkan Bendahara Umum Ri adalah manipulasi informasi yang membodohi rakyat. Karena, substansinya sama saja, Pendapatan Negara dari BBM Tetap Ri120 triliun.
—- 000 —-
Bendahara Umum Ri yang masih penasaran kemudian menghadap Presiden, dan mengatakan bahwa sebenarnya Presiden bisa menaikkan harga BBM menjadi Ri2.500 per liter. Dengan alasan subsidi BBM di dalam keuangan negara sangat besar, mencapai Ri380 triliun, sehingga bisa bikin APBN jebol. Kalau ini dijalankan, maka Pendapatan negara dari BBM menjadi Ri250 triliun, bukan Ri120 triliun. Karena ‘subsidi’ berkurang dari Ri380 triliun menjadi Ri250 triliun, atau berkurang Ri130 triliun, senilai kenaikan harga BBM dari Ri1.200 per liter menjadi Ri2.500 per liter (dikali 100 miliar liter).
Bendahara Umum semakin antusias. Mengusulkan, pada akhirnya harga BBM domestik harus disesuaikan dengan harga internasional, yaitu Ri5.000 per liter. Dalam hal ini, Pendapatan Negara naik tajam menjadi Ri500 triliun, dari yang awalnya hanya Ri120 triliun, karena ‘subsidi’ menjadi nol.
Presiden Bijak sangat marah. Karena, Pendapatan Negara naik akibat negara membebani rakyat dengan harga BBM yang sangat mahal. Artinya, kekayaan alam bukan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Melainkan, sebesar-besar untuk merampas uang rakyat!
Begitu marahnya, Bendahara Umum Ri langsung dipecat