Akhir-akhir ini kita semua sedang dipertontonkan dengan kasus Roy Suryo tentang pelecehan Buddha Rupang yang dilaporkan oleh Kevin Wu ke dalam ranah hukum perundangan.
Awalnya saya tidak berminat untuk mengkomentari polemik ini tetapi cukup menggelitik hati ketika membaca alasan yang ada dalam surat balasan Kevin Wu kepada Jaya Suprana.
Tidak ada kepentingan preseden dari saya dalam persoalan ini kepada pihak manapun ataupun untuk kepentingan siapapun.
Tulisan ini hanya sekedar untuk membantu membuka wawasan masing-masing pihak agar dapat lebih jernih melihat dan menganalisis permasalahan yang ada.
Setelah membaca berulang-ulang surat Kevin Wu tersebut, saya meragukan surat tersebut ditulis dan berdasarkan opini pribadi Kevin Wu sendiri.
Seperti telah diketahui oleh publik saat ini Kevin Wu merupakan Ketua Umum Dharmapala Nusantara dan juga sebagai motivator/trainer Buddhis yang sering memberikan arahan-arahan edukasi kepada publik dalam berbagai forum seminar atau sejenis.
Sebagai aktivis Buddhis yang telah malang-melintang cukup lama dalam lingkungan organisasi Buddhis sudah dapat dipastikan Kevin Wu sangat paham dan senantiasa menjalankan ajaran Buddha selain juga Triratna pastinya menjadi pedoman dan filosofi kesehariannya.
Membaca surat balasan Kevin Wu kepada Jaya Suprana tersebut saya terkesan seakan-akan jiwa dan filosofi Buddha Dhamma menjadi tenggelam serta tak nampak keindahan dan kecemerlangan dari Dhamma yang telah susah payah ditemukan kembali oleh Buddha Gautama setelah Beliau mengalami kesengsaraan yang mahadahsyat selama 6 tahun pertapaan dengan cara yang ekstrim.
Mari kita lihat kutipan tulisan yang ada dalam surat Kevin Wu kepada Jaya Suprana sebagai berikut :
” … Untuk kasus Meme Borobudur ini, tujuan pelaporan kami bukan untuk “menyakiti” Saudara RS, namun ada 3 hal.
Pertama, menuntut kesamaan hukum yang berlaku bagi semua, tanpa terkecuali.
Kedua, efek “pembelajaran” dan efek “jera” bagi tersangka dan calon-calon pelaku di masa depan.
Ketiga, semoga kasus penggunakan simbol-simbol agama apa pun dengan tujuan dilecehkan/diolok-olok semacam ini tidak terjadi kembali di bumi Nusantara ini…”
(https://publika.rmol.id/read/2022/07/28/541761/surat-balasan-dharmapala-nusantara)
Untuk alasan yang pertama saya sangat setuju bahwa semua warga negara dilindungi oleh Undang-undang Dasar dan Hak Azasi Manusia untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum.
Untuk alasan kedua ini yang menggelitik hati saya untuk membuat tulisan ini.
Sangat terkesan adanya Dosa Mula Citta (akar pikiran kebencian) dalam hal ini.
Sangat kontradiksi dengan kalimat di atasnya yang mengatakan bahwa pelaporan yang dilakukan bukan untuk “menyakiti”.
Adakah orang yang tidak merasakan tersakiti jika mengalami permasalahan hukum untuk dirinya ?
Adakah orang yang tidak tersakiti dengan harus mendekam dalam sel tahanan ?
Sudahkah ditanyakan kepada Saudara RS apakah tersakiti atau tidak ?
Nanti akan kita bahas lebih lanjut untuk hal ini dalam uraian analisa di bawah.
Untuk alasan ketiga setuju juga bahwa siapa pun tidak boleh mempermainkan simbol agamanya sendiri ataupun agamanya orang lain.
Mari kita mulai dengan jernih membuka batin dan pikiran masing-masing.
Kita akan membahas dan menganalisa tentang Buddha Rupang dan beberapa kisah teladan yang dilakukan oleh Buddha dan murid-murid-Nya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
I. BUDDHA RUPANG.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
============================
I.A. PENGERTIAN BUDDHA RUPANG.
============================
Buddha Rupang adalah patung / arca Buddha yang digunakan sebagai simbol objek puja bakti untuk mengingat perbuatan-perbuatan luhur yang telah dilakukan oleh Buddha.
Sebagai catatan perlu juga diketahui bahwa Buddha Rupang bukan satu-satunya simbol representasi dari Buddha.
Masih banyak lagi simbol lainnya sebagai representasi dari Buddha misalnya : jejak tapak kaki Buddha, Roda Dhamma, pohon bodhi, dll.
============================
I.B. SEJARAH BUDDHA RUPANG.
============================
Pada masa awal saat Buddha Gautama masih hidup dan setelah Buddha Parinibbana (wafat) belum dikenal adanya Buddha Rupang.
Buddha Rupang baru dikenal oleh masyarakat sekitar 650 tahun setelah Buddha Parinibbana (Buddha Gautama Parinibbana pada tahun 543 SM).
Para ilmuwan memperkirakan Buddha Rupang dibuat pertama kali pada masa Raja Kaniska dari Dinasti Kusana berkuasa sekitar tahun 119–163 M dan dipengaruhi oleh budaya Yunani.
Awal pembuatan Buddha Rupang berada di wilayah India bagian Utara dan Barat Laut yaitu saat ini adalah wilayah Kashmir, Pakistan, dan Afghanistan.
Saat itu penduduk di wilayah tersebut menganut agama Buddha aliran Uttaranikaya merupakan cikal bakal aliran Acariyavada yang saat ini melebur ke dalam aliran Mahayana.
Bagi masyarakat aliran Theravada pada masa itu menganggap pembuatan Buddha Rupang adalah sikap yang kurang hormat terhadap Buddha.
Mereka menggunakan simbolisasi Buddha dalam perwujudan benda-benda yang dianggap mewakili perwujudan Buddha misalnya : singgasana yang kosong, pohon Bodhi, Roda Dhamma, bunga teratai, dll.
Pada masa itu daerah Ghandara (sekarang Punjab di Pakistan) dan daerah Mathura yang terletak di pusat India bagian utara dikenal sebagai pusat tempat pembuatan Buddha Rupang.
Pengaruh kesenian Yunani tampak dalam Buddha Rupang dari Ghandara.
Selanjutnya kesenian Buddhisme berkembang di Mathura selama periode Gupta (abad ke-4 hingga ke-6) dan dianggap sebagai puncak seni Buddhis di India.
Kesenian yang berasal dari Gupta mempengaruhi hampir semua wilayah di Asia.
Dengan demikian maka dapat kita pahami bahwa Buddha Rupang yang ada saat ini di manapun tempatnya tidaklah menampilkan wajah asli dari Buddha Gautama karena pada saat itu tidak ada yang melukis wajah Beliau berhubung merupakan hal yang tabu dalam budaya masyarakat di sana.
Di seluruh dunia dapat kita temui Buddha Rupang dengan berbagai penampilan yang berbeda-beda sesuai dengan tekstur wajah dan penampilan fisik masyarakat setempat.
Meskipun penampilan Buddha Rupang yang berbeda-beda namun bukan menjadi persoalan krusial bagi umat Buddha karena bagi umat Buddha penghormatan kepada Buddha Rupang hanyalah sebagai objek simbolis untuk mengingatkan kembali jasa besar Guru Agung Buddha.
Menghormati Buddha Rupang tidak tertuju pada penghormatan secara personifikasi diri Buddha Gautama melainkan penghormatan secara generalisasi terhadap Buddha di manapun di alam semesta pada masa lampau, masa kini, maupun masa mendatang.
Maka dari itu tidak ada sebutan Buddha Gautama Rupang tetapi sebutannya adalah Buddha Rupang.
============================
I.C. CIRI KHAS BUDDHA RUPANG.
============================
Walaupun Buddha Rupang dapat dibuat dengan berbagai penampilan tekstur wajah dan fisik, namun setiap Buddha Rupang perlu memiliki ciri-ciri khas.
Ciri khas yang harus terlihat dalam Buddha Rupang seperti yang juga dilakukan oleh masyarakat pada masa Universitas Nalanda di India sekitar 14 abad yang lalu yaitu memiliki unsur-unsur :
1. Ke-Buddha-an.
2. Sangha.
3. Manusia Agung (Maha Purissa).
4. Seorang pemimpin.
5. Tidak menimbulkan nafsu seksual.
6. Seorang yang telah mengatasi keduniawian.
7. Kebudayaan masyarakat setempat.
8. Keharmonisan bentuk.
9. Bernilai seni yang tinggi.
10. Memiliki nilai filsafat yang tinggi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
II. BERBAGAI KISAH TELADAN YANG DILAKUKAN OLEH BUDDHA GAUTAMA DAN MURID-MURIDNYA.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
============================
II.A. Y.A. ANGULIMALA.
============================
Y.A. Angulimala sebelum menjadi murid Buddha Gautama adalah seorang pembunuh bengis yang menargetkan 1.000 orang dibunuh dengan menguntai 1 jari dari setiap orang yang dibunuhnya untuk dijadikan kalung.
Dengan cinta kasih dan welas asih Buddha Gautama mengumpankan diri-Nya sendiri untuk dijadikan korban ke-1.000 namun bukannya dibunuh tetapi justru Angulimala menjadi sadar terhadap kesalahannya dan bertobat.
Dengan kesabaran-Nya, Buddha memberikan bimbingan Dhamma kepada Angulimala sehingga berhasil menjadi Arahat (orang suci yang telah merealisasikan Nirvana).
Ketika bala tentara pasukan kerajaan datang ke tempat Buddha untuk menangkap Angulimala, Buddha melindunginya dan tidak menyerahkan Angulimala kepada bala tentara pasukan tersebut.
Melihat Angulimala berada dalam perlindungan Buddha maka raja pun tidak meneruskan perkara kasusnya yang menurut hukum kerajaan seharusnya Angulimala memperoleh hukuman mati.
Di sini jelas terlihat kearifan dari Buddha Gautama dan Raja Pasenadi yang sama-sama memberikan kesempatan kepada Angulimala untuk tidak menerima hukuman kerajaan tetapi justru menerima bimbingan Dhamma dari Buddha.
============================
II.B. Y.A. MOGGALANA.
============================
Y.A. Moggalana adalah salah satu dari 2 orang siswa utama Buddha Gautama yang unggul dalam hal Abhinna (kekuatan supranatural hasil dari pelatihan meditasi).
Y.A. Moggalana mengetahui dengan jelas bahwa dirinya harus menerima buah karma buruk yang dilakukannya sendiri pada kehidupan yang lampau berupa kematian dengan cara dicincang tubuhnya.
Y.A Moggalana dengan welas asihnya membiarkan para pembunuh mencincang tubuhnya tanpa menebarkan kebencian ataupun sumpah serapah kepada para pembunuhnya tersebut.
Dalam hal ini jelas para pembunuh pasti akan menerima buah karma buruknya tersebut kelak pada kehidupannya saat itu juga ataupun pada kehidupan yang selanjutnya.
Y.A. Moggalana telah memberikan teladan berupa kesabaran dan keikhlasan dalam menerima kerjanya Hukum Karma sehingga tidak ada dendam permusuhan saat musibah itu terjadi.
============================
II.C. DEVADATTA.
============================
Devadatta awalnya adalah bhikkhu siswa Buddha Gautama.
Devadatta berniat mengambil alih pimpinan Sangha dengan berusaha untuk membunuh Buddha Gautama.
Beberapa usaha percobaan pembunuhan kepada Buddha Gautama gagal dilakukan oleh Devadatta tetapi ada 1 usaha percobaan pembunuhan yang dapat melukai kaki Buddha Gautama.
Meskipun telah berulang kali mencoba membunuh hingga kaki yang terluka namun Buddha tidak menaruh dendam, sakit hati, ataupun marah kepada Devadatta.
Buddha juga tidak menyerahkan Devadatta kepada aparat kerajaan untuk dikenakan hukuman peraturan kerajaan.
Buddha membiarkan proses Hukum Karma berjalan sebagaimana adanya terhadap diri Devadatta yang pada akhir riwayatnya Devadatta tertelan sendiri ke dalam bumi.
============================
II.D. KALAYAKKHINI.
============================
Kalayakkhini adalah peri yang mengejar-ngejar seorang wanita untuk merebut bayinya.
Permusuhan antara sang peri Kalayakkhini dengan wanita itu dimulai dalam beberapa kehidupannya yang lampau saat keduanya terlahir sebagai istri tua dan istri muda seorang perumah tangga.
Si istri tua berulang kali meracuni si istri muda agar kehamilannya gugur yang pada akhirnya membuat si istri muda meninggal ketika menjalani persalinan untuk kesekian kalinya.
Sebelum meninggal wanita malang itu dengan hati yang dipenuhi kebencian bersumpah untuk membalas dendam kepada istri tua sehingga sejak saat itu dimulailah permusuhan tersebut.
Pada kelahiran berikutnya istri tua dan istri muda terlahir sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing.
Kemudian terlahir kembali sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina.
Permusuhan itu baru berakhir saat mereka terlahir sebagai seorang wanita perumah tangga dan peri yang bernama Kalayakkhini disadarkan oleh Buddha oleh wejangan sebagai berikut :
“Na hi verena verāni sammantīdha kudācanaṃ
Averena ca sammanti esa dhammo sanantano.”
Artinya :
“Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci
Inilah satu hukum abadi.”
(Dhammapada 5)
Kita dapat melihat di sini begitu mengerikannya akibat yang akan diterima oleh kedua pihak yang saling bermusuhan, saling membenci, dan saling mendendam.
Permusuhan dan saling balas-membalas tersebut akan terjadi dalam banyak kali kehidupan mendatang yang melelahkan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
III. KESIMPULAN.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Setelah mengetahui historis singkat Buddha Rupang dan beberapa kisah teladan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Buddha Rupang hanyalah simbol puja bagi umat Buddha dan tidak ada unsur kesucian dalam Buddha Rupang karena umat Buddha bukanlah penyembah berhala.
2. Tekstur wajah dan fisik Buddha Rupang yang kita temui saat ini bukanlah wajah asli Buddha Gautama.
3. Dalam pembuatan Buddha Rupang diperlukan beberapa ciri khas yang mewakili figur seorang Buddha.
4. Segala kebencian/permusuhan tidak akan dapat berakhir jika dibalas dengan kebencian, tetapi akan berakhir jika dibalas dengan Cinta Kasih (Metta) dan Welas Asih (Karuna).
5. Sangat mengerikan bagi siapa saja yang memelihara Dosa Mula Citta (akar pikiran kebencian) dalam dirinya karena kelak ikatan karma permusuhan ini akan terus ditemuinya dalam banyak kali kehidupannya yang mendatang.
6. Setiap hal yang terjadi di alam semesta ini berlangsung dari sistem kerja Hukum Universal Panca Niyama dengan Hukum Karma merupakan salah satu hukum kesunyataan yang ada di dalamnya.
Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan efek “pembelajaran” ataupun efek “jera” bagi orang lain selain Hukum Karma itu sendiri dan Hukum Karma tidak dapat dikendalikan oleh siapapun bahkan oleh Buddha sekalipun.
Pembelajaran hanya terjadi dalam hubungan antara orang tua dan anak ataupun guru/pendidik/pengasuh kepada anak didiknya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
IV. PENUTUP.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tulisan ini bukan untuk membela ataupun mendukung siapapun termasuk Roy Suryo, Kevin Wu, dan yang lainnya.
Tulisan ini untuk mengingatkan agar kita masing-masing melakukan introspeksi diri, mawas diri, dan pengendalian diri.
Dengan Sati Sampajanna (Perhatian pikiran yang mawas diri secara berkesinambungan) maka akan dapat melihat fenomena yang ada secara jernih sehingga permasalahan dapat ditutup secara indah pada kedua pihak yang bertikai.
Dhamma yang telah diajarkan oleh Buddha begitu indahnya bahkan indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya.
Buddha telah menjelaskan bahwa kebencian tidak dapat dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian dapat berakhir dengan dibalas oleh Metta (Cinta Kasih).
Dalam Karaniya Metta Sutta (Sutta tentang kasih sayang yang harus dikembangkan) Buddha telah mengajarkan bagaimana menerapkan Metta (Cinta Kasih).
Berikut ini beberapa cuplikan bait yang relevan dengah topik tulisan ini :
“Karaṇīyam-attha-kusalena
yantaṁ santaṁ padaṁ abhisamecca
Sakko ujū ca suhujū ca
suvaco cassa mudu anatimānī.
(Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebajikan.
Untuk mencapai ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong)”
…
“Na ca khuddaṁ samācare kinci
yena vinnū pare upavadeyyuṁ.
Sukhino vā khemino hontu
sabbe sattā bhavantu sukhitattā.
(Tak berbuat kesalahan walaupun kecil,
Yang dapat dicela oleh Para Bijaksana.
Hendaklah ia berpikir :
Semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram
Semoga semua makhluk berbahagia)”
…
“Na paro paraṁ nikubbetha
nātimannetha katthaci naṁ kinci,
Byārosanā paṭīgha-sannā
nānnam-annassa dukkham-iccheyya.
(Jangan menipu orang lain,
Atau menghina siapa saja,
Jangan karena marah dan benci,
Mengharap orang lain celaka)”
“Mettanca sabba-lokasmiṁ
māna-sambhāvaye aparimāṇaṁ,
Uddhaṁ adho ca tiriyanca
asambādhaṁ averaṁ asapattaṁ.
(Kasih sayangnya ke segenap alam semesta,
Dipancarkannya pikirannya itu tanpa batas,
Ke atas, ke bawah dan ke sekeliling,
Tanpa rintangan, tanpa benci, tanpa permusuhan)”
…
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
V. SARAN.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Roy Suryo dan Kevin Wu jelas telah melakukan sesuatu ikatan karma.
Hendaknya ikatan karma ini tidak berupa ikatan karma permusuhan yang akan merugikan diri sendiri dalam kehidupan saat ini maupun dalam banyak kehidupannya yang mendatang.
Akhirilah segala kebencian dan permusuhan yang saat ini ada dengan solusi yang indah.
Mengakhiri perseturuan dengan Cinta Kasih bukan berarti Buddha Dhamma telah “kalah” tetapi justru membuat Dhamma menjadi semakin bersinar terang untuk kebahagiaan banyak makhluk.
Sesungguhnya tidak ada suatu tempat pun di alam semesta yang tidak ada Dhamma.
Para praktisi Dhamma-lah yang mampu mencerahkan sinar Dhamma atau sebaliknya meredupkan sinar Dhamma.
Singkirkanlah ego-sektoral dan kepentingan golongan karena kepentingan bangsa dan negara harus lebih diutamakan.
Mari kita sudahi pertikaian dan sambutlah hari depan dengan kehangatan persahabatan dalam moderasi beragama.
Penulis : NN
30 Juli 2022
N.B. :
Tidak perlu mengetahui siapa saya karena tidak penting untuk mengenal jati diri saya namun yang lebih penting adalah mencerna dengan jernih esensi tulisan ini.
Saya tidak memiliki kepentingan apapun dalam pertikaian antara Kevin Wu dan Roy Suryo ini.
Apapun hasilnya tidak ada manfaatnya bagi diri saya.
Namun apabila esensi dari tulisan ini dapat dicerna oleh para pihak yang bertikai sehingga dapat dengan indah dan damai menutup pertikaian ini maka di sinilah manfaat kebaikan akan dinikmati oleh kedua pihak.
Tulisan ini hanya sebagai renungan untuk membuka kejernihan pemikiran para pihak yang bertikai sehingga tidak perlu ada pihak yang memberikan counter back tulisan ini lagi.