Margiono masuk RSPP Modular, Jakarta, Sabtu (22/1) lalu. Ia pasien RS Eka BSD (Bumi Serpong Damai) yang dirujuk ke RSPP Modular, Jakarta, karena terkonfirmasi Covid-19.
Sabtu siang itu, Margiono ke RS Eka hanya untuk check up rutin. Ia memang mengidap sakit ginjal. Setahun terakhir ia rutin sebulan sekali kontrol di RS itu.
“Terkonfirmasi Covid19 pas siang itu di RS Eka. Papa tiba-tiba sesak napas ketika tiba di RS. Dokter UGD kemudian melakukan swab PCR yang hasilnya positif,” cerita Rivo, salah satu putra Margiono, Selasa (1/2) pagi, pertelepon.
Rivo mendapat berita duka tentang ayahnya langsung dari dokter di RSPP tadi pagi. Tidak lama setelah Margiono dinyatakan wafat. Rivo mengaku itu tidak ada keluarga yang sempat melepas kepergian Margiono, karena RS melarang pasien Covid19 ditunggui oleh keluarga.
Rivo terakhir ngobrol dengan ayahnya di kantornya, Sabtu pagi (22/1) di gedung Intermark, milik Margiono, di kawasan BSD.
“Baik saja. Tidak ada tanda menderita sakit. Kami ketemu jam 10 pagi. Sedangkan Papa ke RS Eka untuk kontrol pukul 13.30 hari itu. Malamnya baru ketemu lagi di RS, tapi tidak bicara apa-apa lagi,” cerita Rivo.
Semalam Sempat Membaik
Kondisi Margiono selama diopname di ICU RSPP setelah beberapa kali cuci darah, naik turun. Sempat membaik empat hari lalu. Ini menurut cerita Ratna Susilawati, salah satu direktur di “Rakyat Merdeka”, kelompok usaha milik Margiono.
“Alhamdulillah, kondisi Pak Margiono makin baik. Laporan dari dokternya saturasi bagus, semua parameter menunjukkan perbaikan. Mohon doa,” kata Ratna melalui chat di WhatsApp Sabtu malam (29/1).
“Tadi malam juga kondisi Papa dilaporkan dokter, membaik. Tensi dan saturasi normal. Tapi kondisi itu tidak bertahan lama. Setelah itu tensinya drop lagi, berkisar 62/47, saturasi 88 hingga 90. Kemudian, pagi tadi dikabarkan telah tiada,” papar Rivo.
Pimpin PWI 2 Periode
Margiono adalah mantan Ketua Umum PWI Pusat dua periode. Dua periode dalam kepengurusan PWI Pusat (2008 hingga 2018) itu kami bahu-membahu menjalankan roda organisasi wartawan tertua di Indonesia itu.
Saya Sekretaris dan Ketua Dewan Kehormatan PWI. Ada masa- masa sulit, tapi kesulitan itu bisa dibuat mudah oleh Margiono. Bahkan pada periode kepemimpinannya iuran anggota yang sulit ditagih, dibebaskan. Free of charge. Tidak hanya itu.
Margiono sering pula membiayai atau sekurangnya menalangin kebutuhan dana organisasi PWI dari kantong pribadinya. Dan, itu sejak awal. Dimulai ketika terpilih sebagai Ketua Umum PWI di Kongres Aceh tahun 2008. Renovasi kantor PWI besar-besaran dibiayainya sendiri.
Sebagai Ketua Umum PWI Pusat, Margiono memang dibekali banyak “perlengkapan”. Nama dan reputasinya cukup membanggakan. Dia dikenal sebagai wartawan pemberani. Salah satu media yang dipimpinnya dulu, Majalah ” Detektif Romantika” pernah bikin geger Indonesia. Sampul depannya menampilkan Presiden Soeharto dalam bingkai kartu King.
Seperti bisa ditebak, dan sudah diperhitungkannya, media itu memang kena breidel penguasa. Margiono juga dapat sanksi dari organisasi PWI.
Margiono adalah wartawan dan direksi group media besar “Jawa Pos”. Dua puluh tahun terakhir ia mengembangkan grup media sendiri “Rakyat Merdeka”. Media ini termasuk berani.
Pernah dalam satu kurun, terutama di awal-awal, “Rakyat Merdeka” menyajikan isu- isu sensitif yang menyerempet kekuasaan. Salah satu headline-nya yang sempat digugat di pengadilan, berjudul “Megawati Mega Bau Solar” terbit di masa pemerintahan Megawati sebagai Presiden RI.
Margiono cerita, masa itulah dia kebingungan. Bersamaan di satu hari medianya menghadapi sidang gugatan di banyak pengadilan. Untuk mengatasinya, dia pun memutuskan mengangkat 11 pemimpin redaksi.
“Supaya semua sidang gugatan bisa dilayani,” katanya.
Kenapa headline “Rakyat Merdeka” keras semua? Suatu kali ia ditanya itu.
“Ini era yang kalau tidak berteriak keras, tidak ada yang mau peduli aspirasi rakyat,” alasannya.
Kembang HPN
Margiono telah tiada. Ia pergi sepekan sebelum peringatan Hari Pers Nasional 2022 di Kendari, 7 hingga 9 Februari mendatang.
Salah satu daya tarik HPN selama masa kepemimpinannnya, adalah dirinya sendiri. Dia adalah “kembang” HPN.
Kemampuannya berpidato memukau mulai wartawan muda dari daerah terpencil hingga orang nomer satu di republik ini.
Saya kira pidato itu salah satu yang akan dikenang banyak orang dari Margiono. Ia hanya bisa ditandingi oleh Tarman Azzam, dalam urusan pidato. Tarman adalah Ketua Umum PWI Pusat, juga dua priode, yang digantikan oleh Margiono. Tarman Azzam wafat 2016.
Pidato Margiono selalu dinanti. Tadi pagi saya sempat jogging dengan Marah Sakti Siregar, wartawan senior, mantan Ketua PWI Jaya.
“Masih ada nggak daya tarik HPN sekarang tanpa pidato Margiono,” tanyanya. Satu jam setelah itu Marah pula orang pertama mengirimi saya kabar duka mengenai Margiono.
Tidak berlebihan mengatakan memanh banyak yang menghadiri HPN, di mana pun acaranya diselenggarakan, karena mau dengar pidato Margiono. Ah, saya masih terbayang gesture Margiono tiap kali berpidato. Bagaikan aktor Stand Up Komedi menyihir audience.
Margiono sosok wartawan yang sukses sebagai jurnalis dan pengusaha media. Ia mengawali kariernya dari bawah. Makanya ia dekat dengan bawahan. Sikap egaliter itu terbawa hingga menjadi bos besar di kerajaan medianya.
Kebetulan hobi makan pula. Seperti ditulis Dahlan Iskan, mantan bossnya di Jawa Pos, Margiono cuma mengenal dua kategori makanan. Enak dan enak sekali. Hobbi makan itu menambah sarananya untuk intens bergaul dan urun rembuk dengan para karyswab dan wartawannya. Ketika memimpin PWI ia berlaku seperti itu juga. Mengutamakan kebersamaan dan mau mendengar curahan hati maupun kritik. Lapang dada menerima koreksi dan kritik terhadapnya. Saya termasuk yang sering melakukannya.
Margiono paham para pengurus PWI datang dari berbagai latar belakang dan pengalaman. Ia tidak menjadikan itu kendala, tetapi dihadapi sebagai kelebihan. Mendengar masukan dan aspirasi seluruh pengurus, dia anggap memudahkan pekerjaannya. Tak percaya? Faktanya banyak hasil rapat PWI yang digodok dalam diskusi para pengurus, tinggal dibungkus Margiono. Tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
Dia mendesain ruang rapat yang besar dan nyaman di kantor PWI Pusat untuk tujuan itu. Agar seluruh komponen pengurus membiasakan diri mengambil keputusan dari mendengan banyak masukan. Caranya, ya itu tadi: melibatkan semua komponen ambil peran. Memberi masukan dan pertimbangan.
“Artinya putusan itu adalah tanggung jawab bersama. Tidak ada yang merasa ditinggal,” katanya.
Margiono telah pergi. Rasanya cuma sekejap saja. Semoga almarhum mendapat tempat lapang, nyaman, dan indah di sisi Allah SWT.