Oleh: Muslim Arbi
(Direktur Gerakan Perubahan)
Undang – Undang nomor 39 Tahun 2008, melarang Rangkap Jabatan. Pasal 23.a menyebutkan: Mentri di larang merangkap jabatan sebagai: pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Publik di buat heboh dan resah atas keputusan Presiden Joko Widodo yang menunjuk Menko Maratim dan Investasi (Marinves), yang telah memegang beberapa jabatan sebelum nya, menjadi Komite Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 93 tahun 2021. Perpres tersebut di teken Jokowi pada Kamis, 6 Oktober 2021.
Dari, berita yang beredar, selama Jokowi menjabat Presiden sejak 2014 sampai 2021 ini: Luhut Binsar Panjaitan, mantan Mentri Perindustrian di Era Presiden Abdurahman Wahid dan Mantan Duta Besar Singapura di zaman Presiden BJ Habibie itu: Luhut, menjabat beberapa jabatan. Di antaranya:
1. Agustus 2015, Menkopolhulam, menggantikan, Tedjo Edhi Pufjianto.
2. Juli 2016, Mentri Koordinator Kemaratiman, menggantikan Rizal Ramli.
3. Agustus 2016, Plt Mentri ESDM, menggantikan Archandra Tahar.
4. Tahun 2018. Ketua Panitia Nasional IMF-WORLD BANK
5. Tahun 2018, Ketua Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri.
6. Mei, 2020. Sebagai Plt Mentri Perhibungan, dan Plt Mentri Kelautan dan Perikanan.
7. Juli 2020, Wakil Ketua KPCPEN dan Koordinator PPKM Jawa-Bali
8. Juni 2021, Ketua Dewan Pengarah Penyelamatan 15 Danau Prioritas Nasional
9. September 202, sebagai Ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia
10. Oktober 2021, di tetapkan dengan Perpres nomor 93 sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Kalau di lihat dari Undang-Undang no 39 tahun 2008 pasal 23.a di atas maka Rangkap Jabatan bagi seorang mentri adalah jelas-jelas pelanggaran Undang-Undang yang nyata.
Publik, teringat akan rangkap Jabatan di Era Presiden Soekarno: Dr Soebandrio juga di serahi untuk rangkap sejumlah jabatan. Soebandrio, menjabat 8 jabatan strategis. 1. Wakil Perdana Mentri, 2. Mentri Luar Negeri, 3. Kepala BPI, 4. Wakil Panglima Kotrar, 5. Wakil Panglima Kotoe, 6. Koordinator Urusan Irian Barat, 7. Ketua Dewas KBN Antara dan 8. Pengurus Besar Front Nasional. DR Soebandrio pun di juluki Anjing Peking oleh Para Demonstran saat itu.
Publik pun, menduga, apakah ada kesamaan antara Era Soekarno yang bikin Poros Jakarta-Peking dengan zaman Jokowi yang lebih condong ke RRC dgn Poros Jakarta-Beijing?
Bukan kah, Pembukaan Poros Jakarta-Beijing adalah pelanggaran TAP MPRS no 25 Tahun 1966: Karena RRC dengan sistem Komunis nya bertentangan dengan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945.
Soal, pelanggaran UU Larang Rangkap Jabatan di atas, semesti nya Komisi III DPR, dapat memanggil Presiden untuk di mintai penjelasan. DPR tidak boleh diam seribu bahasa atas pelanggaran UU tersebut.
Jakarta, 13 Oktober 2021