Oleh : Eggi Sudjana Mastal
(Ketua TPUA)
Tanggal 5 Juli 2021 yang lalu, mediasi gagal. Presiden Jokowi menolak opsi taubat yang ditawarkan oleh Penggugat dalam perkara 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst. Harapan 5 Juli 2021 sebagai momentum hari pertaubatan nasional sirna, mungkinkah malah akan menjadi momentum hari pembangkangan nasional?
PPKM Darurat yang diberlakukan sejak 3 Juli 2021 yang diantaranya pada poin ke-7 mengadopsi kebijakan penutupan Masjid dan Musholla, secara faktual tidak diindahkan masyarakat. Secara umum, masjid dan musholla tetap menjalankan fungsinya terutama untuk kegiatan ritual ibadah.
Hanya masjid-masjid yang berada pada kendali kekuasaan -seperti Masjid Istiqlal- yang ditutup. Selebihnya, Alhamdulillah kebijakan penutupan masjid musholla dilawan dengan akidah yang kuat, umat lebih memilih dekat dengan Allah SWT dan menjauhi penguasa, ketimbang mengambil opsi sebaliknya.
PPKM Darurat yang diterapkan berdasarkan instruksi menteri dalam negeri No. 15 tahun 2021 yang ditujukan kepada seluruh Gubernur, Bupati/Walikota di lapangan juga tak diindahkan. Gibran selaku Kepala Daerah di Solo, mengabaikan instruksi PPKM Darurat dengan tetap mengizinkan Mal buka.
Luhut Panjaitan selaku koordinator PPKM yang pernah mengancam memecat Kepala Daerah yang tak menjalankan PPKM, nyatanya tak berdaya menghadapi Gibran. Tak ada otoritas dan wibawa kekuasaan yang menyebabkan PPKM dapat dijalankan dengan efektif. Di lapangan, PPKM menimbulkan kegaduhan dan friksi antara rakyat dengan petugas.
Bahkan, Paspampres bersitegang dengan petugas PPKM dari unsur Polisi dan TNI. Sejumlah anggota Paspampres, sempat menggeruduk Polres Jakarta Barat.
Masalah kegawatdaruratan kesehatan juga tidak kunjung ada kabar petunjuk ada penurunan. Jumlah korban infeksi covid-19 semakin tak terkendali. Pada 7 Juli 2021 korban covid Pecah Rekor hingga Tembus 34.379 Kasus, Meninggal 1.040, Sembuh 14.835. Jumlah kasus positif virus corona tercatat ada 34.379 penambahan, dari sebelumnya 2.345.018 kasus. Kini, total kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 2.379.397.
Tuntutan Presiden Jokowi agar mundur dari jabatannya, semakin membahana. Di jagat Twitter, desakan Presiden mundur banyak diperbincangkan netizen.
Jokowi Terus Didesak Mundur Hingga Tagar #BapakPresidenMenyerahlah ramai di Twitter. Ali Ngabalin Staf Ahli Presiden meminta pengunduran diri Presiden jangan dipolitisasi, sementara Ahmad Khozinudin yang juga Tim TPUA menegaskan bahwa pengunduran diri presiden bukanlah politisasi melainkan aspirasi murni yang keluar dari nurani rakyat.
Pada situasi genting semacam ini, semestinya Presiden Jokowi menerapkan konsep ‘Tahu Diri’. Jokowi harus menginsyafi ketidakmampuan dirinya mengelola pemerintahan sekaligus mendengar aspirasi rakyatnya yang menuntut dirinya mengundurkan diri.
Memaksakan diri terus memimpin tanpa kemampuan dan kendali yang jelas, sama saja menjerumuskan seluruh rakyat Indonesia. Sementara, tutup mata dan telinga atas aspirasi rakyat yang menuntut dirinya mengundurkan diri, adalah sikap yang tidak tahu diri.
Jokowi masih memiliki waktu, untuk mengambil pilihan perpisahan dengan rakyat dalam keadaan yang diridhoi rakyat. Pilihan mengundurkan diri, pasti akan disambut bahagia dan dengan segenap keridhoan rakyat.
Namun, jika Jokowi tetap ngotot mempertahankan jabatannya, menolak aspirasi untuk mundur, penulis khawatir aspirasi mundur akan berubah menjadi kemarahan dan tuntutan mundur berubah menjadi aksi untuk memaksa Presiden agar turun dari jabatannya sebagaimana terjadi dan dialami Soeharto. Kekuasaan Soeharto yang mengakar hingga 32 tahun saja bisa dipaksa berhenti, apalagi kekuasaan Jokowi ?
Lagipula, mengundurkan diri dari jabatannya adalah tindakan konstitusional. Hal nama juga sejalan dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001 ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA. Prof Mahfud MD dalam banyak kesempatan, mengingatkan pejabat untuk mundur saat rakyat tak lagi menghendaki untuk melanjutkan jabatannya. [].
Salam perjuangan… indonesia negara yg demokrasi dan konstitusional..