Kekuasaan Presiden Jokowi membersitkan kembali tragedi kuasa Jawa yang luruh dan gagal mewujudkan maslahat, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Ekonomi terpuruk, malah tumbuh negative, KPK dihancurkan, sementara korupsi merajalela, oligarki elite makin rakus dan kapitalisme kleptokratis (maling) makin menggila,
Zaman kalabendu (zaman edan dan biadab) beserta pageblug (pandemi) mewarnai penuh negeri ini.
Sosok satrio piningit bukanlah sosok yang disimpan di kamar sunyi-semedi, melainkan sosok yang tampil dari persembunyiannya dengan gagasan dan terobosan. Dalam budaya Jawa, sosok itu berani bicara terang dan menyampaikan gagasan dan pemikirannya yang terbuka bagi kritik balik dan dialog deliberative untuk membangun-membangkitkan bangsa dari keterpurukannya. ‘’Sosok itu bisa jadi Rizal Ramli atau Gus Romli, yang piawai mengatasi belitan masalah ekonomi dan sosial,’’ kata seorang kyai muda pesantren nahdliyin, Umar Hamdani MA, alumnus UIN Syarif Hidayatullah dan STF Driyarkara.
Pandangan analis sosial Umar Hamdani cukup beralasan dan relevan. Dalam budaya Jawa sejak dahulu kala, konsepsi raja dewa atau ratu-binanthara, yang disinyalir berasal dari tradisi India khususnya Hindu, mewarnai tradisi kekuasaan.Sejarawan G. Mudjanto dalam karyanya The Concept of Power in Javanese Culture, mengatakan bahwa konsep ratu-binanthara barulah akan bermakna lengkap jika ditambah kata “gung binanthara bau dhendha nyakrawati, ber budi bawa le(k)sana ambek adil para marta”. Konsep di atas ini memiliki empat dimensi makna. Dua makna yang disebut pertama berarti raja besar seperti dewa (gung binanthara), yang memiliki kekuatan (bau dhendha), sebagai penguasa dunia (nyakrawati). Sedangkan dua dimensi lainnya berisi penjelasan bagaimana seorang raja harus melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya. Ia, harus berbudi (luhur), yang artinya budi baiknya seolah-olah mengalir karena penuhnya (luber), bawa le(k)sana berarti sanggup memegang teguh kata-katanya, dan ambek adil paramarta yang berarti mampu bersikap adil serta murah hati.
Namun Jokowi gagal memenuhi empat dimensi makna itu sehingga rezim ini bagai rezim bebek lumpuh, lame duck regime. Dan kegagalan Jokowi telah meluruhkan harapan bangsa ini dan munculnya Rizal Ramli yang juga sahabat Jokowi serta mantan Menteri Kemaritiman Jokowi, telah membersitkan harapan bagi rakyat dan bangsa kita menyongsong masa depan dari saat ini.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli menekankan keadilan dan kemakmuran sebagai ”jalan kebangkitan” (Road of Awakening) untuk seluruh rakyat Indonesia, dalam Pidato Kebangsaan 113 Tahun Kebangkitan Nasional, pekan lalu.
Dengan mengubah Demokrasi Kriminal seperti yang sedang terjadi di negeri ini saat ini, menjadi demokrasi yang bersih, maka demokrasi akan bekerja untuk keadilan dan kemakmuran rakyat. Bukan hanya menjadi pesuruh oligarki, elite, dan dinasti kekuasaan politik serta ekonomi belaka.
“Hanya dengan jalan perjuangan itu, demokrasi bisa bermanfaat untuk memberikan keadilan, kemakmuran dan kejayaan untuk seluruh bangsa Indonesia,” tegas tokoh pergerakan mahasiswa 1978 ini.
Agar Indonesia berdaulat dan berjaya, menurutnya, ekonomi nasional harus dikelola dengan melaksanakan Ekonomi Konstitusi UUD 1945. Yaitu ekonomi dari, dengan, dan untuk kemakmuran rakyat.
“Bukan ekonomi neoliberal yang menjadi pintu masuk neo-kolonialisme. Bukan pula kegiatan ekonomi yang lokasinya di Indonesia, tapi manfaat dan nilai tambahnya untuk kemakmuran orang asing,” tandas Rizal Ramli.
Peluang Indonesia keluar dari krisis saat ini menurutnya sangat terbuka luas.Syaratnya, seluruh potensi rakyat harus digerakkan dan semua potensi strategis serta sumber daya alam nasional harus benar-benar dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. “Dengan jalan seperti ini kita akan segera keluar dari krisis multidimensi seperti yang terjadi saat ini,” ujarnya.Zaman Pralaya, era gelap yang penuh kekacauan: ketidakadilan ekonomi, hukum, sosial, dan politik sudah saatnya diakhiri, agar rakyat dapat menyongsong matahari baru, cakrawala baru Indonesia yang menghalau kegelapan.
F.Reinhard MA/Arief Gunawan/ berbagai sumber