BENGKULU – PT. Ketaun Hidro Energi (KHE) anak grup PT. Paramount Enterprise International, diduga membeli tanah tidak sah dari Samiun, warga Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Bengkulu. Pasalnya, transaksi jual beli tanah diduga berdasarkan keputusan sepihak yang bukan kewenangannya.
“Ya, (tanah) sudah dibayarkan (ke Samiun). Besarannya saya nggak tahu, bukan bagian saya. Pembayaran langsung dari perusahaan,” ujar Legal Permit PT. KHE, Afanthio Wira Bachtiar saat dikonfirmasi wartawan di area tanah, wilayah Talang Ratu, Lebong, Kamis (28/1) siang.
Thio menjelaskan, kedatangan dirinya ke lahan tersebut karena diutus langsung oleh Direktur PT. KHE, Zulfan Zahar. Zulfan yang pernah diperiksa KPK sebagai saksi kasus suap mantan Sekretaris MA, Nurhadi tahun 2020, mengutus Thio untuk menyaksikan pengukuran tanah oleh ATR/BPN Lebong.
Hadir juga unsur tripika, Camat Rimbo Pengadang, Lasmudin, serta anggota Satuan Intelkam Polres Lebong. Sedangkan perwakilan Babinsa Koramil 409-08 Rimbo Pengadang dihadirkan oleh pihak keluarga Mahmud Damjaty, selaku pemilik dokumen asli jual beli tanah.
Tampak juga adik kandung Lasmudin, selaku Kepala Desa Teluk Dien yang merasa lokasi tanah berada di wilayah tugasnya. Padahal, sejak dibeli Mahmud dari ayah Samiun, M. Rais, tahun 2002 hingga saat ini, tanah tersebut merupakan teritori Desa Talang Ratu.
“Saya di sini karena menjalankan tugas dari manajemen (PT. KHE). Mau ada pengukuran (tanah). Saya di utus Direktur saya, Zulfan Zahar, untuk menyaksikan (proses pengukuran),” ungkap Thio.
Menurut Thio, PT. KHE berani membayar ke Samiun, dengan acuan legalitas tanah dari Kecamatan Rimbo Pengadang. Legalitas yang diklaim hasil dua kali mediasi dari pihak Samiun dan keluarga Mahmud. Sebagai Legal Permit yang paham hukum, Thio menilai pembayaran tetap dapat dilakukan, meski pun belum berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Selama dasar alasannya bisa terverifikasi, terklarifikasi, validasi (dari Kecamatan), kenapa tidak (dibayarkan)? Kami berdasarkan alat sah yang sudah disepakati bersama,” tutur pria bergelar Sarjana Hukum Universitas Diponegoro tersebut.
Namun, saat pihak keluarga Mahmud mempertanyakan terkait kesepakatan bersama yang dimaksud, Thio bungkam. Salah satu anak Mahmud, Switta, menyesalkan hal tersebut. Switta menilai, seorang Legal Permit PT. KHE, seharusnya paham tugas dan fungsi perangkat pemerintahan.
“Masa pihak Kecamatan jadi acuan untuk mengesahkan kepemilikan tanah. Sejak kapan status Kecamatan bisa setara BPN atau Pengadilan? Direktur PT. KHE tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? Legal Permit perusahaan ngerti hukum tidak?” timpal Switta.
Jika PT. KHE menganggap tanah tersebut masih sengketa, lanjut Switta, seharusnya pihak perusahaan menempuh jalur hukum. Setelah berproses dan inkrah dari pengadilan, maka tanah dapat diperjualbelikan. Fakta di lapangan, urai Switta, PT. KHE membeli tanah dari Samiun, berdasarkan hasil mediasi yang disahkan Camat.
“PT. KHE harusnya tidak beli kucing dalam karung. Jika mereka beli tanah berdasarkan hasil mediasi di Kecamatan, itu tidak sah! Bahkan, berita acara mediasi yang dimaksud, belum pernah kami terima satu lembar pun. Padahal sudah diminta dua kali. Bayangkan jika kasus ini terjadi sama warga yang tidak mengerti apa-apa. Kasihan kan,” sesal Switta.
Saat dikonfirmasi, Camat Rimbo Pengadang, Lasmudin, menegaskan dirinya tidak pernah berpihak kepada kubu mana pun. Apalagi sampai mengesahkan hak milik tanah atas nama Samiun agar dapat dibeli PT. KHE berdasarkan hasil mediasi di kantor kecamatan. “Tidak ada saya mengesahkan atas nama Si A dan Si B,” sanggah Lasmudin.
Camat juga menjamin tidak akan ada pengukuran di lahan Mahmud. Dirinya siap bertanggungjawab jika terjadi pengukuran di kemudian hari. Lalu, bagaimana dengan dugaan keterlibatan Camat dan jajarannya, saat pembayaran lahan dari pihak PT. KHE kepada Samiun? Lasmudin mengaku tidak tahu menahu. “(Pembayaran) Itu dari perusahan (PT KHE) dengan masyarakat (Samiun),” kilah Lasmudin.
Pada kesempatan tersebut, Rosni, selaku istri Mahmud, meminta pihak ATR/BPN Lebong dan kelompok lain yang hadir, meninggalkan lahan milik suaminya. “Tanah ini milik suami saya. Sudah diukur BPN Lebong dua kali. Sudah diukur Samiun satu kali. Kenapa harus diukur lagi? Kami tidak ijinkan,” pinta Rosni.
Ditemui terpisah, Kasi Pengukuran ATR/BPN Lebong, Nasution, memastikan tidak melakukan pengukuran di lahan milik Mahmud. “Tidak ada pengukuran untuk tanah Pak Mahmud,” jamin Nasution.
Sementara itu, kuasa hukum Mahmud Damjaty, Dwi Agung Joko Purwibowo, menjelaskan kronologis pembelian tanah kliennya. Menurut Agung, tanah tersebut dibeli Mahmud dari ayah Samiun, M. Rais, pada Februari 2002 silam. Agung bersaksi, bahwa kliennya, Mahmud, mengantongi dokumen asli terkait jual beli tanah. Serta dapat dipertanggungjawabkan dimata hukum.
Legalitas tanah tersebut, lanjut Agung, diperkuat dengan surat pernyataan Samiun di atas materai, tanggal 18 Agustus 2020. Samiun menyatakan bahwa, tanah tersebut sah milik Mahmud. Surat tersebut juga ditandatangani Camat Rimbo Pengadang, Lasmudin, keesokan harinya, tanggal 19 Agustus 2020.
“Saya akan tetap mempertahankan hak klien (Mahmud) yang diperoleh dengan itikad baik dan tanpa melakukan perbuatan melawan hukum sejak tahun 2002 dari almarhum M. Rais,” kata Agung.
Kini, Samiun datang lagi bersama pihak PT. KHE, didampingi Camat Rimbo Pengadang, Lasmudin, dan adik kandungnya Kades Teluk Dien, Jon Kenedi. Kelompok tersebut berharap, petugas ATR/BPN Lebong segera mengukur tanah Mahmud.
Ekspektasi pihak PT. KHE, Kepala ATR/BPN Lebong dapat mengesahkan Peta Bidang Tanah (BPT) untuk menerbitkan sertifikat. Sehingga akan menguatkan surat kepemilikan tanah hasil mediasi kecamatan milik Samiun yang sudah dibayar PT. KHE. Samiun sendiri memilih kabur, dan enggan berkomentar saat dikonfirmasi terkait hal tersebut.
Untuk diketahui, sebelum mengupayakan pengukuran, pihak PT. KHE tidak menghadirkan lengkap perwakilan tripika. Karena pihak PT. KHE hanya melibatkan Camat selaku perwakilan Kecamatan. Sedangkan tripika dari pihak Polres Lebong dihadirkan oleh ATR/BPN setempat.
Khusus tripika dari Koramil 409-08 Rimbo Pengadang, diperintahkan langsung oleh Danramil, Kapten Cba Arif Parwoko, atas permintaan pihak keluarga Mahmud Damjaty.
“Anggota Babinsa Koramil, saya langsung yang perintahkan ke lokasi tanah pak Mahmud, sesuai permintaan keluarga pak Mahmud. Sebagai penengah untuk mencegah konflik. Datangnya tidak serentak (dengan tripika lain). Rombongan itu (Babinsa Koramil) berangkat duluan,” demikian Danramil.