Oleh : Arief Gunawan (Wartawan Senior)
Raffles menyebut Jawa: Nusa Kendang, Nusa Hara-Hara, atau Jawi. Akar kata yang sama dengan kata “Jau” (Jauh) yang menunjuk jarak atau tempat.
Waktu Sukarno lahir Gunung Kelud meletus. Orang meramal tanda datang zaman baru.
Nostradamus meramal Hiroshima dan Nagasaki. John Naisbitt dan Toffler yang futurolog juga meramal (forecasting) berdasar gejala zaman.
Prabowo pernah meramal Indonesia bubar pada 2030.
Katanya, kekayaan Indonesia dibawa lari dan dimanfaatkan asing. Berdasar bacaan fiksi, Ghost Fleet, tulisan August Coke dan Peter Singer.
Orang Indonesia hidup tak luput dari ramalan, sehingga dalam kultur Jawa misalnya ada primbon dan local wisdom tentang hakekat hidup slamet.
Sluman, slumun, slamet, yang mengajarkan hidup harus ulet, kreatif-inovatif supaya slamet (survive).
Sebuah ramalan tak menjadi spekulasi kalau basisnya data, statistik dan angka-angka.
Tokoh nasional Dr. Rizal Ramli dianggap punya sixth sense. Forecasting dan prediksi ekonominya tentang krisis ekonomi ‘98 tak meleset, berujung kejatuhan Soeharto.
Forecasting-nya berbasis data, statistik, dan angka-angka. Termasuk saat memprediksi kondisi ekonomi Indonesia tahun ini yang bakal semakin carut-marut.
Rizal Ramli merujuk pada kondisi riil perekonomian nasional yang melambat dan merosot di bidang makro yang terlihat jelas awal tahun lalu.
“Dengan adanya Covid menjadi lebih parah lagi. Di awal semester tahun ini kita akan kesulitan cash flow. Dampak dari krisis multidimensi ini akan lebih gawat dibandingkan sebelum ‘98,” tandas Rizal.
Dia menjelaskan 1998 terjadi krisis moneter karena pemerintah Soeharto kebanyakan utang.
Tapi saat itu rakyat di luar Jawa malah senang. Karena petani karet, sawit dan cokelat yang tadinya hanya dapat 1 dolar AS = Rp 3.000 saat itu menjadi Rp 15. 000.
“Mereka jadi makmur. Di Jawa sendiri mengalami kesulitan,” kisahnya.
Tapi kali ini berbeda 180 derajat. Di luar Jawa, katanya, tidak ada lagi ekses kapasitas dan berbagai macam komoditi. Saat ini keseluruhan sedang menghadapi masalah.
Akibatnya, kata Rizal, kesulitan dihadapi rakyat baik di Jawa maupun luar Jawa.
Sebagai contoh, 70 persen mahasiswa seluruh Indonesia saat ini sudah tidak mampu bayar uang kuliah. Ironisnya, hal ini tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah.
Krisis kali ini, menurutnya, lebih gawat dibanding krisis yang dialami Indonesia pada 1998.
Faktor yang mempengaruhi persoalan krisis kali ini cukup banyak. Pertama, terkait persoalan utang.
“Kita sudah sampai pada titik dimana untuk bayar bunga utang, harus berutang lagi,” ujarnya.
Diperkirakan tahun ini bunga utang Indonesia sekitar Rp 345 triliun. Untuk membayar bunga utang itu dipastikan pemerintah akan kembali berutang, sehingga akan terjadi negatif flow.
Persoalan kedua, tidak banyak yang memperhatikan pada September tahun kemarin terjadi pertumbuhan kredit yang negatif.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya sejak 1998. Biasanya pertumbuhan kredit sebesar 15 hingga 18 persen. Kalau pertumbuhan ekonominya 6 persen,” jelasnya.
Dari Januari hingga September tahun lalu pertumbuhan kredit hanya berkisar di angka 3 persen. Jauh dari yang diharapkan. Bahkan pada September tercatat pertumbuhannya negatif.
Artinya, kata Rizal, uang di masyarakat dimanfaatkan buat bayar utang, melalui mekanisme membeli Surat Utang Negara (SUN) dan mekanisme lainnya.
“Inilah yang memukul daya beli rakyat biasa saat ini,” tandasnya