ESENSINEWS.com – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, kebijakan moneter Indonesia terjebak pada kondisi yang tak selaras antara kebijakan bank sentral dengan kebijakan fiskal pemerintah dan perbankan.
Sehingga, kebijakan moneter yang telah diambil oleh Bank Indonesia (BI) dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga 3,75%, tidak akan berkontribusi banyak pada peningkatan perekonomian, pasalnya tingkat suku bunga kredit masih tinggi, yakni di kisaran 9,3%-10%.
Selain itu kebijakan burden sharing atau berbagi beban antara BI dan pemerintah, di mana BI diminta untuk membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana, juga turut berkontribusi terhadap tak berdayanya kebijakan moneter dalam menggerakkan perekonomian.
“BI tersandera. Tidak bisa menurunkan suku bunga karena suku bunga kredit perbankan bertahan di 10%, dan BI juga disuruh untuk membeli surat utang di pasar perdana,” katanya dalam webinar, Kamis (14/1/2021) pekan lalu.
Selain itu kebijakan burden sharing atau berbagi beban antara BI dan pemerintah, di mana BI diminta untuk membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana, juga turut berkontribusi terhadap tak berdayanya kebijakan moneter dalam menggerakkan perekonomian.
“BI tersandera. Tidak bisa menurunkan suku bunga karena suku bunga kredit perbankan bertahan di 10%, dan BI juga disuruh untuk membeli surat utang di pasar perdana,” katanya dalam webinar, Kamis (14/1).
Sedangkan, dana-dana yang terdapat di perbankan terserap habis untuk membeli surat utang negara (SUN). Anggaran yang seharusnya untuk menyalurkan kredit ke masyarakat habis hanya untuk membeli SUN.
Hal itu dapat dilihat dari angka kepemilikan SUN oleh perbankan yang terus mengalami kenaikan, terutama di 2020. Pada 2014 kepemilikan SUN di perbankan hanya Rp204 triliun, 2019 naik jadi Rp607 triliun, dan 2020 melonjak menjadi Rp1.112 triliun.
“Jadi semua likuiditas yang ada terserap seluruhnya untuk membeli SUN. Pertumbuhan SUN 2014-2020 32,6%, sedangkan pertumbuhan kredit hanya 6,9%,” ujarnya
Tak sampai di situ, kebijakan burden sharing yang harus dijalankan BI untuk menutupi pembiayaan APBN juga telah menyebabkan neraca keuangan BI terganggu.
Anthony pun menuturkan, akar semua persoalan tersebut berasal dari kebijakan fiskal yang rapuh. Pada 2020 pendapatan negara hanya tercatat sebesar Rp1.633,6 triliun, dengan rasio pendapatan 10,6% dari PDB atau lebih rendah dari tahun lalu yang 12,4% dari PDB. Sedangkan belanja negara membengkak jadi Rp2.589 triliun atau defisit sebesar Rp956,3 triliun atau 6,09% dari PDB. Dan di lain sisi utang melonjak menjadi Rp1.226,8 triliun.
“Ketahanan fiskal juga sangat rapuh. Sangat sulit jadi motor penggerak ekonomi,” tuturnya