ESENSINEWS.com – Presiden Joko Widodo melantik enam orang menteri dan lima wakil menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Rabu (23/12/2020). Namun sejumlah pengamat menyatakan seharusnya Jokowi mencpot menteri yang punya catatan rapor merah atau kinerja buruk.
“Ada menteri di Kabinet Indonesia Maju yang punya catatan rapor merah tapi masih dipertahankan oleh Presiden Jokowi saat reshuffle kabinet. Namun Jokowi tidak berani mencopot ketiga menteri itu,” kata Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun dalam keterangan tertulis, Rabu (23/12).
Padahal, lanjut Ubedilah, tiga menteri tersebut sebetulnya tidak menunjukkan progres dalam program yang dijalankan, mereka juga memiliki catatan rapor merah, tetapi Jokowi nampaknya tidak berani memberhentikannya.
“Misalnya Menko Manivest (Marves), Mendikbud dan Menteri Keuangan,” kata Ubedilah dalam keterangan tertulis, Rabu (23/12).
Menurutnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, tidak menunjukkan kemajuan sesuai janji-janji soal investasi.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI), menurutnya juga perlu diganti karena angka pertumbuhan ekonomi yang terus merosot.
Adapun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Ubedilah menyinggung masalah kurikulum yang bikin gaduh.
11 Menteri
Sementara itu, pengamat politik Rusmin Effendy menyayangkan reshuffle terbatas tersebut. Padahal, menurut catatannya, ada 11 menteri kabinet yang tidak berprestasi yang seharusnya direshuffle agar Indonesia bisa adil dan makmur sesuai harapan founding fathers atau pendiri bangsa Indonesia.
“Kalau mau fair ada sekitar 11 menteri yang tidak berprestasi. Ada diantaranya yang kerap membuat kegaduhan. Di antara Menteri yang tidak berprestasi seperti Mahfud MD, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Nadiem Anwar Makarim (Mendiknas), Muhadjir Effendy (Menko PMK), Airlangga Hartanto (Menko Perekonomian), Sri Mulyani (Menkeu), Tjahjo Kumolo (Menpan RB), Agus Gumiwang Kartasasmita (Menperin), Ida Fauziyah (Menaker), dan Johnny Gerard Plate (Menteri Komunikasi dan Informatika) yang harus direshuffle,” kata Rusmin Effendy kepada Harian Terbit, Kamis (24/12/2020).
Rusmin menilai, kualitas menteri kabinet yang saat ini direshuffle pun masih KW3 yang tidak berkualitas sama sekali sehingga tidak bakal membuat prestasi apapun. Hasil kabinet yang direshuffle saat ini hanya sebagai transaksi politik hasil koalisi dengan cara mendapat jatah kabinet. Sehingga kinerjanya ke depan tidak akan maksimal dan profesional.
“Sejatinya pemerintah Jokowi mampu memilih figur anggota kabinet yang berkualitas sehingga terbentuk Zaken kabinet. Bukan sekedar menempatkan orang tanpa kualifikasi tertentu sehingga mereka yang menduduki posisi menteri berkualitas kw3,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Rusmin, Presiden Jokowi harus melakukan reshuffle jilid berikutnya jika memang hendak dan ingin meningkatkan kinerja pemerintahan. Karena reshuffle kabinet 6 menteri kemarin saja belum cukup sehingga masih menyisakan banyak persoalan dan mengundang kontroversial, seperti Menteri Agama (Menag) Gus Yaqut yang dinilai belum memiliki kualifikasi.
“Jangan sampai reshuffle kabinet hanya untuk memenuhi birahi kekuasaan Jokowi saja, tapi harus mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Sehingga kinerja para menteri benar-benar terukur,” tegasnya.
Kurikulum
Ubedilah mengakui, reshuffle yang ditempuh Presiden Jokowi, ada sedikit efek kejut salah satunya melalui pergantian Menteri Kesehatan. Meski ia juga menyorot latar belakang Budi Gunadi Sadikin yang bukan dari bidang kesehatan.
Karena itu ia pun memperkirakan Menkes baru kemungkinan bakal menghadapi sejumlah masalah di internal kementerian dan perlu waktu yang cukup lama untuk memahami serta memetakan kondisi di Kemenkes.
“Posisi Menteri Agama juga nampaknya kurang tepat karena bukan berasal dari kekuatan NU yang sangat kultural,” tambah dia.
Efek kejut lain, lanjutnya, adalah masuknya Sandiaga Uno yang menerima tawaran Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta, Tri Rismaharini di kursi Menteri Sosial.
“Ada Risma yang memberi efek kejut sekaligus pelipur lara. Mungkin PDIP ingin kembali bangun citranya yang terpuruk akibat Mensos sebelumnya yang dari PDIP tersandung korupsi bansos,” ucap dia.
Dalam perombakan kabinet kali ini, Ubedillah juga mencium adanya nuansa transaksional antara kekuatan politik di parlemen dan eksekutif dengan terpilihnya menteri baru dari partai.
“Satu catatan kritik saya sejak awal menyusun kabinet 2019 lalu bahwa Jokowi masih mengabaikan pentingnya assessment integritas calon menterinya. Jokowi tidak lagi menggunakan cara-cara ideal menyusun kabinet tetapi lebih dominan pertimbangan chemistry loyalitas dan pertimbangan kekuatan politik,” tukas Ubedilah.