Oleh : Anthony Budiawan__Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Belum lama berselang, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan akan mengenakan tarif impor bagi produk China senilai 50 miliar dolar AS, dan bisa diperluas menjadi 250 miliar dolar AS. Dunia pun terguncang dengan berita ini. Kritik berdatangan dari seluruh dunia, dan juga dari dalam negeri termasuk para ekonom ternama.
Kritik mengatakan kebijakan proteksi Trump akan memicu perang dagang secara global yang dapat membahayakan perekonomian dunia. Tetapi, bagi produsen dalam negeri AS yang menjual produknya di dalam negeri, kebijakan ini disambut baik karena dianggap sebagai wujud merealisasikan janji kampanye dengan tema Make America Great Again.
Pada prinsipnya, setiap negara dapat menganut sistem kurs tetap (fixed exchange rate) terhadap dolar AS, atau sistem kurs mengambang (floating exchange rate). Untuk jangka panjang, sistem kurs tetap tidak mencerminkan nilai kurs sebenarnya, bisa kemurahan (undervalued) atau kemahalan (overvalued).
Sebaliknya, sistem kurs mengambang senantiasa mencerminkan nilai kurs sebenarnya, karena terjadi penyesuaian kurs secara otomatis mengikuti neraca perdagangan. Surplus membuat kurs menguat dan defisit membuat kurs melemah.
Untuk itu, mari kita lihat contoh berikut ini. Pada awalnya, sistem nilai tukar dunia menggunakan kurs tetap terhadap dolar AS (sistem Bretton Woods, 1944), termasuk deutsche mark (DM) Jerman dan yen Jepang. Setelah Bretton Woods collapsed pada 15 Agustus 1971, sistem nilai tukar dunia beralih ke sistem kurs mengambang. Dampaknya, Jerman Barat dan Jepang yang mempunyai surplus neraca perdagangan yang besar dengan AS, kurs mata uangnya serta merta menguat signifikan. Deutsche mark menguat dari 4,00 DM (selama periode 1962-1971) menjadi 3,19 DM per dolar AS pada 1972, menjadi 2,00 DM per dolar AS pada 1978, dan mencapai kurs tertinggi 1,43 DM per dolar AS pada 1995, menguat 2,8 kali lipat dibandingkan 1970.
Begitu juga dengan Jepang, mata uang yen menguat 16 persen dari 360 yen (selama periode 1950–1971) menjadi 303 yen per dolar AS pada 1972, kemudian menguat menjadi 262 yen pada Maret 1973, 183 yen pada Oktober 1978, dan mencapai kurs tertinggi 84 yen per dolar AS pada April 1995, menguat 4,3 kali lipat dibandingkan 1970.
Bagaimana dengan China?
Pada awal economic reform tahun 1978, China menganut sistem kurs mengambang dengan kurs sekitar 1,6 renminbi (RMB) per dolar AS (Februari 1981), dan kemudian terdepresiasi menjadi 5,8 RMB per dolar AS pada akhir 1993 karena banyak kendala semasa peralihan dari command economy menjadi market economy.
Pada 1 Januari 1994 China melakukan devaluasi sekitar 40 persen menjadi 8,27 RMB per dolar AS, dan sekaligus beralih ke sistem kurs tetap. Dengan berbagai kritikan tajam, China akhirnya melepas sistem kurs tetap dan beralih ke sistem kurs mengambang terkendali pada 2005.
Selama periode 2005-2009 kurs renminbi menguat 21 persen, dari 8,27 renminbi menjadi 6,83 renminbi per dolar AS. Kurs ini bertahan hingga pertengahan 2010 karena China kembali menganut sistem kurs tetap (terkendali) untuk menahan dampak krisis finansial global dan juga menghindari kurs renminbi menguat. Sejak itu, kurs renminbi fluktuatif di dalam rentang yang dikendalikan.
Di lain sisi, neraca perdagangan China dengan AS mengalami surplus berkepanjangan sejak 1985, sekitar 10 miliar dolar AS pada 1990, melonjak menjadi 83 miliar dolar AS pada 2000, melonjak lagi menjadi 261 miliar dolar AS pada 2010, dan menjadi 337 miliar dolar AS pada 2017, setara 72,3 persen dari total defisit transaksi berjalan AS.
Dengan fakta ini, renminbi seharusnya menguat menjadi 2 sampai 3 RMB per dolar AS, seperti yang terjadi pada deutsche mark dan yen Jepang selama periode 1970-1995. Dengan kurs seperti ini Indonesia seharusnya bisa bersaing dengan China.
Tetapi hal ini tidak terjadi karena China dapat mengendalikan kurs mata uangnya melalui intervensi dan membatasi lalu lintas devisanya. Dengan kurs renminbi yang undervalued, tidak heran kalau Indonesia juga mengalami defisit berkepanjangan dengan China.
Oleh karena itu, kebijakan Trump mengenakan tarif impor kepada China tidak sepenuhnya tepat bila dikatakan sebagai pemicu perang dagang, tetapi harus dilihat dalam konteks upaya melindungi ekonomi dan industri dalam negeri dari praktik tidak fair dalam menetapkan kurs mata uangnya, yang bukan saja merugikan AS, tetapi juga merugikan semua negara mitra dagang lainnya termasuk Indonesia.
Oleh karena itu Indonesia berkepentingan mendukung kebijakan Trump dan mendesak China agar menggunakan sistem kurs mengambang tanpa intervensi agar semoga semua bangsa dapat berkompetisi secara fair, tidak merugikan dan memiskinkan bangsa lain