Pemilihan presiden AS kali ini dapat dilihat beberapa sisi. Pertama, sisi geopolitik dalam konteks kompetisi antara Amerika dan China. Kedua, dapat dilihat dari apakah kemenangan itu akan berdampak terhadap Indonesia atau tidak.
Walaupun Trump kalah, kebijakan AS terhadap China tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Akhirnya, dengan kata lain, China tetap dianggap sebagai penghalang dari kemajuan Amerika, musuh ideologis dan juga kompetitor dalam politik, ekonomi, militer, dan sebagainya.
Di era Donald Trump, Amerika Serikat menggunakan cara yang lebih langsung dan terbuka dalam berhadapan dengan China, bahkan vulgar. Tetapi itu tetap punya dampak sehingga Biden tidak bisa begitu saja menjadi sangat soft terhadap China. Terutama, China berbeda dengan Amerika soal ambisi teritorial. Amerika walau ingin berpengaruh tapi tidak memiliki ambisi territorial.
Ambisi teritorial China antara lain dapat dilihat di Laut China Selatan. Lalu, China memiliki penduduk yang banyak, sekitar 1,3 miliar jiwa, yang ingin dipekerjakan atau direlokasi ke negara-negara lain seperti Afrika, Asia, dan termasuk Indonesia.
Ambisi teritorial seperti itu tidak bisa diterima oleh rakyat Indonesia, termasuk Rizal Ramli.
Kita ingin bersahabat dan memang harus bersahabat dengan semua negara termasuk China, tetapi kalau ada yang tidak menghormati integritas wilayah Indonesia (territorial integrity), maka kita harus lawan.
Seperti saat kami menjadi Menko Kemaritiman, kami mengubah nama Laut China Selatan yang masuk wilayah Indonesia menjadi Laut Natuna Utara dan kami ganti petanya.
China resmi mengajukan protes kepada pemerintah Indonesia karena tidak setuju, dan itu sebetulnya kurang ajar sekali karena seharusnya tergantung kita, karena itu laut kita dan wilayah kita, maka mau kita kasih nama apapun, you have no right to interfere. Ini menunjukkan adanya ambisi teritorial.
Sebetulnya, kalau Trump yang menang, bargaining position Indonesia akan jauh lebih tinggi. Tetapi dengan Biden yang relatif moderat, walaupun tetap menganggap China sebagai saingan ideologis, ekonomi dan militer, cara-cara Biden mungkin tidak akan akan terlalu konfrontatif.
Hal kedua adalah kebijakan ekonomi Biden. Kalau dilihat hari ini indeks saham naiknya luar biasa karena kalangan menengah atas, yang kaya-kaya, yang biasanya mendukung Republik tahu bahwa Demokrat tidak akan kuat di Senat dan di Kongres karena jumlahnya berkurang.
Biden akan susah membongkar kebijakan Trump yg pro orang kaya. Dalam kaitan itu, dampaknya terhadap Indonesia, zaman Trump betul-betul chauvinist, pokoknya American first.
Artinya, negara lain yang dianggap merugikan dengan enak saja dia pasang tarif tinggi, pasang halangan atau barrier ini dan itu karena pokoknya Amerika didahulukan dan tidak peduli dengan aturan internasional. Dia tidak peduli dengan kesepakatan-kesepakatan multi-lateral maupun bilateral.
Aturan atau kesepakatan perdagangan yang sudah adapun bisa begitu saja dibatalkan. Memang kebijakan American first sangat menguntungkan Amerika tetapi sangat merugikan negara seperti Indonesia.
Dengan terpilihnya Biden, dia akan lebih mengikuti aturan dan tata krama internasional dalam perdagangan dan tidak akan berani terlalu jauh bertindak secara unilateral atau sepihak. Dia akan lebih memperhatikan pertimbangan bilateral dan multilateral. Ini tentu bagi Indonesia bagus dari segi ekonomi dan keuangan.
Tradisi Demokrasi
Namun, jangan lupa hal ketiga yaitu Demokrat tradisinya selalu pro-demokrasi dan anti dengan sikap otoriter. Elit Indonesia hari ini lebih pro Beijing karena menganggap bahwa China bisa maju menjadi kekuatan nomor dua di dunia karena sikapnya yang otoriter.
Banyak elit kita yang mau mencontoh China dengan melihat otoriternya saja, namun tidak melihat bahwa kebijakan ekonomi China juga sangat pro rakyat, bukan sekedar kapitalisme: China berhasil mengurangi ratusan juta kemiskinan, menciptakan ratusan juta lapangan.
Ideologi yang dianut bukan liberal atau kapitalisme ugal-ugalan, namun kapitalisme yang diatur atau regulated oleh negara. Para elit pemuja Beijing di Jakarta hanya melihat dan hanya mau mencontek otoriternya saja. Ada antagonisme, elit kita yang pro Beijing hanya melihat bahwa China maju karena otoriter jadi harus diikuti dengan otoriter.
Ini kesalahan sangat-sangat besar karena Jepang yang sehabis Perang Dunia II hancur digempur di Nagasaki dan Hirosima bisa bangun dan tumbuh lebih dari 12 persen dalam 20 tahun dengan kebijakan ekonomi yang memang pro kepentingan nasional, memakai strategi double income plan, sehingga dapat mengejar ekonomi Barat tetapi secara demokratis.
Sehabis itu, Barat ketakutan maka Jepang dipaksa setuju memperkuat mata uang Yen melalui ‘Plaza Accord’ di New York. Cina, pada dasarnya meniru model Jepang dari segi ekonominya, tetapi secara politik otoriter ala komunis. Elit kita kurang belajar sejarah dan kurang belajar dari pengalaman ekonomi negara-negara lain dan mengambil kesimpulan sederhana, ‘Kalau kita mau maju, kita harus otoriter.’
Padahal, ada jalan kemajuan yang sifatnya demokratis, seperti Jepang 20 tahun setelah Perang Dunia II.
Indonesia Semakin Otoriter
Biden dan Partai Demokrat pasti akan mempersoalkan kenapa Indonesia semakin lama semakin otoriter di bawah Jokowi dan keluar dari jalur demokrasi.
Selain dukungan pro demokrasi, Biden juga akan mendukung good governance. Kalau Trump tidak peduli. Lo mau ngapain urusan lo, yang penting Amerika gains.
Tetapi, Demokrat punya global view, dia terganggu kalau negara partner atau sahabatnya otoriter dan melakukan tindakan bertentangan dengan hak asasi manusia. Jadi, buat pemerintahan Jokowi, akan berat menghadapi serangan soal demokratisasi, hak asasi, dan lain-lain.