Oleh: Gede Sandra (Pengamat Ekonomi)
Fenomena “decoupling” (memisah) dalam ekonomi, antara perekonomian riil (“main street”) dengan bursa saham terjadi di Indonesia. Selama seminggu terakhir indeks harga saham gabungan (IHSG) telah naik 4%, sementara pertumbuhan ekonomi (PDB) diumumkan kembali minus di -3,5% di kuartal III -2020 (setelah kuartal II juga minus di -5,3%). Apa yang bisa menjelaskan kenapa harga saham naik sementara perekonomian tenggelam dalam resesi?
Sederhana, stimulus yang sangat besar yang diberikan pemerintah kepada ternyata salah sasaran. Jargonnya untuk menyelamatkan usaha kecil dan menengah, ternyata hanya menyelamatkan para pengusaha besar saja. Sebagai contoh di bidang insentif perpajakan, insentif untuk UMKM hanya Rp2,4 triliun, sedangkan perusahaan besar mencapai seluruh dari total stimulus Rp179,48 triliun.
Contoh lain adalah, penjaminan modal kerja bagi UMKM hanya sebesar Rp 1 trilun. Ini sangat keterlaluan. Padahal jumlah kredit usaha mikro mencapai Rp305,9 triliun, usaha kecil Rp346,7 triliun, dan usaha menengah Rp469,7 triliun. Subsidi bunga untuk UMKM juga dipastikan hanya mencapai 20% dari target (target: Rp 35,3 triliun untuk 60,6 juta UMKM), alias hanya Rp 7,4 triliun saja yang sampai ke 12,6 juta rekening UMKM.
Hampir pasti, sebagian besar dana penempatan pemerintah sebesar Rp 30 triliun di bank-bank pemerintah yang tergabung di Himbara (Mandiri, BRI, BNI, dan BTN) akan mensubsidi para nasabah besar saja. Padahal jumlah tenaga kerja yang dinaungi UMKM mencapai 97 juta jiwa.
Sementara, para nasabah besar ini bila dapat duit, tidak akan mereka meningkatkan kapasitas produksi perusahaannya, mengingat daya beli masyarakat belum pulih. Yang ada para kapitalis ini akan lebih memilih menempatkan duitnya di pasar saham atau membeli surat utang pemerintah yang berbunga tinggi. Inilah yang menjelaskan mengapa IHSG terus menanjak dan nilai tukar Rupiah menguat.
Menurut seorang bankir, setiap pemerintah menerbitkan surat utang yang berbunga tinggi, sepertiga dana perbankan “lari” ke surat utang. Akibatnya pertumbuhan kredit di akhir kuartal ke III, September, minus 0,4%. Artinya, stimulus pemerintah tidak mampu meningkatkan kredit bagi masyarakat untuk menggerakkan ekonomi. Yang ada malah sebagian dana stimulus yang awalnya dari pemerintah diinvestasikan oleh para pengusaha besar kembali ke surat utang pemerintah, tapi tentu dengan bunga tinggi yang akan menambah cuan mereka. Ini subsidi bunga tambahan untuk para pengusaha besar pemegang surat utang, besarnya senilai kupon yang diberikan Kementerian Keuangan.
Ekonomi riil memang bisa dikatakan bergerak sangat lamban. Seluruh menteri di tim ekonomi harus bertanggung jawab. Beberapa hari lalu BPS mengungkap bahwa, secara tahunan, pertumbuhan sektor industri pengolahan minus di -3,4%; industri perdagangan dan reparasi kendaraan minus di -5%; industri konstruksi minus di -4,5%; industri pertambangan (dan penggalian) minus di -4,3%; industri transportasi dan pergudangan minus di -16,7%; dan industri lainnya minus di -5,9%. Yang bertumbuh positif hanya industri pertanian, kehutanan, dan perikanan 2,1%; industri informasi dan komunikasi 10,6%; dan industri kesehatan dan kegiatan sosial 15,3%.
Industri pertanian yang seharusnya dapat tumbuh lebih tinggi di era pandemi, trennya malah terus turun bila dibandingkan dengan kuartal-kuartal sebelumnya. Padahal kebutuhan pangan rakyat seharusnya stabil, ditengarai ini karena derasnya impor pangan oleh kartel pengusaha. Bila industri komunikasi tumbuh tinggi sangat wajar karena memang dalam pandemi terjadi transisi yang masif aktivitas masyarakat ke dunia digital. Untuk industri kesehatan dan kegiatan sosial pun sangat wajar bila tumbuh tinggi mengingat keduanya adalah yang prioritas utama stimulus di era pandemi.
Semua ini menjadi lengkap dengan keberadaan dua sejoli UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Keduanya merupakan “daging wagiyu” bagi para perusahaan besar di dalam negeri, terutama yang bergerak di sektor esktraktif. Pengusaha-pengusaha besar ini mendapatkan otomatisasi perpanjangan izin penambangan dan jaminan mendapatkan tanah lebih mudah. Para pengusaha yang sama kemudian dapat mengagunkan konsesi dan tanah ini ke perbankan di dalam atau luar negeri untuk mendapat kredit jumbo hingga puluhan triliunan rupiah. Nilai saham perusahaan mereka di bursa pun kembali melesat.
Sudah mendapat “daging wagiyu”, para pengusaha juga mendapat “daging tetelan” dari UU Cipta Kerja berupa semakin murahnya biaya untuk pekerja akibat outsorcing yang tidak terbatas, kontrak yang bisa selamanya, dan turunnya nilai pesangon.
Sementara para UMKM hanya disisakan “tulang belulang” saja dari UU Cipta Kerja. Kemudahan izin pendirian usaha atau koperasi bukanlah jawaban atas masalah pokok kalangan UMKM, ketimpangan kredit jauh lebih mendesak untuk dibereskan. Sekitar 85% persen kredit perbankan selalu lari ke pengusaha besar dan BUMN yang jumlahnya hanya ribuan, sementara sisa 15% kredit harus diperebutkan oleh puluhan juta UMKM.
Tidak ada ruang hidup untuk usaha kecil dan menengah, stimulus keringanan pajak dan permodalan yang diberikan seperti tidak serius. Sementara pengusaha besar mendapatkan semua fasilitas yang mewah. Mulai dari keringanan pajak, subsidi bunga (perbankan dan surat utang), “subsidi” saham, kuota impor pangan, perpanjangan izin dan tanah untuk agunan kredit, hingga ongkos pekerja yang makin murah.
Inilah dia, akibat stimulus pemerintah yang salah sasaran dan dua sejoli UU Cipta Kerja-UU Minerba, kapitalisme di Indonesia menjadi semakin ganas.