ESENSINEWS.com, Jakarta – Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah sebuah terobosan hukum yang dilakukan Pemerintah untuk mempercepat transformasi ekonomi yang akan memberikan manfaat dalam mendorong masuknya investasi dan menciptakan lapangan kerja. Pernyataan ini disampaikan oleh Plt Asisten Deputi Peraturan Perundang – Undangan Kementerian Koperasi & UKM, Henra Saragih dalam webinar yang digelar DPC PERMAHI DKI Jakarta, Jumat, (6/10/2020).
Henra Saragih yang hadir mewakili Sekretaris Kementerian Koperasi & UKM, menyampaikan, selain dua manfaat tadi, UU Cipta Kerja juga bertujuan untuk melakukan penyederhanaan perizinan berusaha, perlindungan dan jaminan bagi pekerja, serta sampai pada pemberian batasan sanksi yang jelas antara sanksi pidana dan sanksi administratif.
Dalam webinar yang mengangkat topik ‘Kontroversi Undang -Undang Cipta Kerja, Judicial Review atau Parlemen Jalanan’, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah menyoroti proses penyusunan UU Cipta Kerja yang banyak mendapatkan kontroversi dari masyarakat. Menurut Trubus, polemik yang muncul selama proses penyusunan UU Cipta Kerja akibat banyaknya hoaks dan disinformasi yang beredar selama proses penyusunan UU Omnibus Law ini.
“Terlihat ada niat baik pemerintah dalam penyusunan UU ini. Namun maraknya hoaks dan disinformasi dalam proses penyusunan semakin membuat runyam situasi, ditambah lagi sejumlah kontroversi seperti kesalahan ketik, perubahan jumlah halaman, serta demonstrasi mahasiswa dan penolakan dari sejumlah pemimpin daerah. Berbagai polemik ini dikarenakan belum maksimalnya sosialisasi dan komunikasi pemerintah kepada berbagai stakeholder yang terkait dengan UU Cipta Kerja ini,” ujar pengamat dari Universitas Trisakti ini.
Trubus memberikan masukan kepada pemerintah terkait adanya kesalahan ketik dalam naskah UU Cipta Kerja yang terlanjur sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Ia menilai suatu aturan yang sudah diundangkan dan diberi nomor masih dapat diperbaiki.
“Suatu aturan yang sudah diundangkan dan diberi nomor, maka tidak ada cara lain untuk memperbaiki naskah tersebut selain melalui proses Revisi Undang-Undang (Perubahan) melalui forum resmi antara DPR dan Pemerintah, namun demikian dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi masih sangat dimungkinkan karena obyek hukum tersebut telah sah secara konstitusi,” pungkasnya.
Selanjutnya Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menyoroti adanya hyper regulasi dalam kepemimpinan Presiden Jokowi periode pertama 2014 – 2019.
“Di periode pertama Pemerintahan Jokowi sudah diterbitkannya 10.180 regulasi meliputi 131 UU, 526 Peraturan Pemerintah, 839 Peraturan Presiden dan 8.684 Peraturan Menteri, ini semua berdampak pada tumpang tindih aturan, menghambat akses pelayanan publik, dan menimbulkan ketidakpastian hukum”, tegas Isnur.
Selanjutnya, narasumber penutup Imanuel Ebenezer yang juga aktivis 98 mengatakan bahwa UU Omnibus Law ini bertujuan baik untuk rakyat namun memang ada sejumlah pasal yang perlu dikritisi agar bisa mengakomodir berbagai stakeholder.
“Omnibus Law Cipta Kerja ini bertujuan baik dalam mendorong investasi, tapi saya katakan bahwa memang terlalu terburu – buru dalam penyusunannya sehingga berbagai stakeholder dalam hal ini kawan – kawan buruh, pelaku usaha, aktivis mahasiswa, dan LSM belum dimaksimalkan partisipasi dan keterlibatan mereka dalam realisasi UU Cipta Kerja Ini,” katanya.
Ketua Umum DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) DKI Jakarta Andi Maruli menyampaikan, disinformasi dan hoaks yang tersebar di tengah masyarakat karena minimnya sosialisasi dan lemahnya komunikasi pemerintah, antara lain Satgas Omnibus Law, dalam menyampaikan tujuan dari Undang-Undang ini.
“Terkait kesalahan ketik dalam UU yang sudah ditandatangani Presiden menurut kami bukan murni dari kesalahan kementerian sekretariat negara, melainkan harus dilihat dari hulunya, yaitu mulai dari pembahasan antara DPR dan pemerintah. Jadi pihak DPR harus juga bertanggungjawab atas kesalahan ini dan jangan menjadi Setneg sebagai kambing hitam,” pungkasnya.