ESENSINEWS.com – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio saat berbicara dalam webinar yang bertajuk : Masa Depan Penyiaran Analog (Konvensional) di Indonesia” yang digelar Political and Public Policy Studies Senin (19/10/2020) mengatakan, pemerintah tetap konsisten menjalankan UU ini dan kemudian tidak ada JR, maka 2022 diganti digital.
“Nah, apa problem? Masyarakat banyak yang belum tahu apa itu penyiaran digital. Di Lombok, Gubernur NTB dalam sambutannya mengatakan ini makhluk apa. Banyak orang kemudian mengatakan digital itu ya media baru, padahal kan sama sekali berbeda?” kata Agung.
Namun jelas Agung, sejauh ini masyarakat belum tahu migrasi itu apa? Ini memang persoalan mendasar. Kami memang meminta Kemkominfo untuk melakukan sosialisasi lebih masif tentang digital ini.
“Saya baru dari Lampung, di sana dalam konteks pengawasan penyiaran Pilkada. Kami kumpulkan semua lembaga penyiaran. Mereka mengeluh kepada KPI karena mereka tidak mendapatkan porsi yang sama alokasi iklan kampanye di media penyiaran. Tapi sekarang iklannya justru dialokasikan ke media baru,” jelas pria asal Palembang Sumsel ini.
Menurutnya, LP itu mengeluh mereka ijinnya 5 dan 10 tahun, ijinnya rumit, mereka juga harus bayar pajak, dan diawasi KPI.
Sementara kata dia, media baru tidak seperti itu. Jadi mereka bebas saja. Kalau kita membaca survey Nielsen, hoaks itu banyak beredar di media baru.
Disamping itu ujarnya, mereka sendiri mengatakan eksistensi media baru itu tampaknya sudah diakui pemerintah. LP diikat regulasi yang ketat. Dari dua fenomena itu, bagaimana masa depan penyiaran analog kita?
“Saya sepakat kalau ASO itu menciptakan demokratisasi penyiaran. Dalam pengertian, TV yang tumbuh tidak lagi dikuasai oligarki. Jadi, ini memang. Kalau di penyiaran. ASO ini berusaha untuk membuat kepemilikan itu menjadi beragam. Itu TV-TV digital yang kepemilikannya berbeda dengan yang sekarang. ini ada masalah demokratisasi. Jadi ASO ini dalam perspekstif lain dalam konteks munculnya banyak pemilik-pemilik baru,” jelas dia.
Nah, tentu ada pertanyaan, apakah di era yang kompetitif ini mereka sanggup bertahan. Tadi Bang Don berkata content is the king. Jadi sekarang ini justru perlombaan kreatifitas bagaimana kemudian televise menciptakan konten yang diminati penontonnya.
Tanpa itu ya mereka kolaps. Saya ambil contoh Italia. Di Italia itu sudah ASO. Jadi konsepnya mirip Indonesia. Tumbuh tv ibarat jamur di musim hujan tetapi kemudian, setelah beberapa tahun berjalan, itu mati. Televisi2 yang tumbuh tadi tidak mampu berkompetisi sehingga mati. Jadi multiplekser di Italia itu ada 8, 8 kali 12, sekarang tinggal 4 multiplekser. Bangkrut. Tidak mampu bersaing. Nggak dapat iklan. Nah, ini mungkin kita bisa belajar dari Italia. Nah, di Indonesia kalau ASO itu terjadi maka yang saya khawatirkan kalau kemudian terjadi konsolidasi. Jadi, banyak TV yang tumbuh ini tidak mampu bersaing lalu kemudian menjual lisensinya kepada mereka yang memiliki modal. Jadi, konsolidasi yang kemudian membuat oligarki kembali terjadi.
“Nah, ini yang sebetulnya dikhawatirkan. Saya terus berkomunikasi dengan Kemkominfo untuk membuat PP yang cukup demokratis. Dalam pengertian begini, ketika kemudian pengusaha itu gagal, lisensinya nggak boleh dijual kepada pemilik tv yang besar. Saya nggak tahu bentuk PP nanti seperti apa. Potensi tv bersaing kedepan itu agak sulit,” tegasnya.
Beberapa TV digital yang tumbuh ini urai Agung sudah segmented.
“Bagus banget ya. Saya melihat ada Mtek grup Indosiar dan SCTV ini mengeluarkan Nazwa TV. Mungkin ke depan saya kira, yang segmented seperti itu juga diperlukan terutama karena semua itu tampak jeneral jadi yang segmented itu saya kira akan banyak peminatnya. Kalau kita membaca toeri klasik, ini mirip scumpeter dia mengatakan small is beautiful. jadi itu 24 tahun yang lau dia menulis diera global itu yang kecil justru kelihatan cantik. Ini mungkin masukan kepada mereka diindustri penyiaran yang akan terjun ke dunia penyiaran Di mana kompetisi sekarang begitu menggila”
“Yang terakhir saya kira ini cukup menarik tentang media baru. Saya berharap UU Penyiaran bisa segera direvisi mungkin tahun depan di 2021 dan memasukkan media baru di dalamnya. Saya kira kalau UU penyiaran seperti itu Kita bisa menciptakan medan pertarungan yang adil. KPI berkepentingan sebetulnya agar konten yang diterima oleh masyarakat baik dari media baru maupun lembaga penyiaran, sesuai dengan norma kebudayaan,” terang Agung.
Mungkin tandasnya, kalangan tertentu mengatakan Itu klise banget norma dan kebudayaan, Tetapi kalau kita melihat negara – negara lain di dunia ini juga mengatur itu. Australia, Turki mengatur media baru.