ESENSINEWS.com – Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Jepang menyatakan sikap atas situasi politik di tanah air. Pernyataan sikap tersebut disampaikan di Jepang, Sabtu (17/10/2020) menanggapi maraknya pro kontra di masyarakat hingga aksi demonstrasi dalam dua pekan terakhir.
Pernyataan sikap yang disampaikan oleh PPI Jepang sebagai bentuk respon pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang oleh DPR RI, 5 Oktober. UU yang juga dikenal sebagai Omnibus Law ini dinilai melanggar beberapa substansi yang dinilai sangat merugikan buruh dan kepentingan negara untuk jangka panjang.
Yudi Ariesta Chandra selaku Ketua Umum PPI Jepang menyebutkan salah satu poin krusial yang menjadi sorotan mereka yaitu proses legislasi di DPR. “Sejak awal, saat proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan RUU tersebut tampak terlalu tergesa-gesa,” ujarnya lewat keterangan resmi sepeeti dikutip Fajar Indonesia Network, Sabtu (17/10/2020).
Selain itu, mereka juga melihat kalau baik pemerintah maupun DPR enggan membuka diri terhadap masukan dan kritik sebagai bentuk aspirasi masyarakat. “Ini menjadi indikator utama untuk menilai minimnya partisipasi publik dalam penyusunan Omnibus Law,” tegasnya.
Undang-Undang sapujagat ini berusaha mengubah sejumlah undang-undang. RUU Cipta Kerja mencakup 11 sektor dan merevisi lebih dari 70 Undang-Undang yang diproyeksikan mampu meningkatkan investasi di dalam negeri.
Di dalam konteks demokrasi, partisipasi masyarakat dalam penyusunan regulasi merupakan suatu hal yang krusial. Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 96 mengingatkan pentingnya partisipasi masyarakat baik secara lisan maupun tulisan.
Muhammad Reza Rustam (Ketua Bidang Pusat Pergerakan PPI Jepang) menilai bahwa baik pemerintah maupun DPR harus lebih jeli lagi dalam penyusunan Omnibus Law. “Ini kan mencakup banyak sektor dan revisi puluhan Undang-Undang, jadi diperlukan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian dalam penyusunannya,” terang mahasiswa yang tengah mengenyam studi doktoralnya ini.
“Ya, secara teori juga dalam pembentukan regulasi tidak hanya sekadar pemenuhan aspek proseduralnya saja tapi regulasi juga memerlukan partisipasi masyarakat yang lebih luas apalagi masih terjadi pro kontra,” tambahnya.
Menurutnya, baik pemerintah maupun DPR mengedepankan kaidah dan prinsip demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah mufakat ketimbang penyelesaian cepat dengan dalih urgensi demi terciptanya peraturan yang berkeadilan sosial. Apalagi, Indonesia masih dalam situasi pandemi Covid-19 yang mana kasus positifnya masih terus bertambah setiap harinya.
Terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko lewat keterangan resminya mengatakan, jika Undang-Undang Cipta Kerja diarahkan untuk menghadapi kompetisi global. “Kebijakan ini (UU Cipta Kerja) diarahkan untuk menghadapi kompetisi global,” ujar Moeldoko.
Dia mengatakan masyarakat sering mengeluhkan pelayanan birokrasi yang lamban, berbelit, menyebalkan, serta banyaknya regulasi yang tumpang-tindih. Hal ini turut membuat tidak adanya kepastian bagi siapa pun, termasuk investor.
Menurutnya, peringkat kompetitif Indonesia ada di bawah Malaysia dan Thailand. Kata Moeldoko, Presiden malu melihat kondisi ini, dan Presiden menginginkan Indonesia bisa maju dalam kompetisi global. “Saya melihat Presiden malu melihat kondisi ini. Presiden ingin Indonesia maju,” ujarnya.
Dia menyampaikan perkembangan politik yang begitu dinamis di dalam negeri merupakan sebuah tantangan. Namun, dia mengingatkan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan nasional, tetapi juga global.
“Ada fenomena global perubahan cepat, penuh risiko, dan kompleksitas yang luar biasa. Bahkan kadang-kadang mengejutkan,” papar dia.
Di sisi lain dia menyampaikan saat ini juga tengah terjadi pandemik COVID-19 yang tidak diperkirakan. Kemunculan pandemik memporak-porandakan sasaran yang sudah tersusun dan disiapkan, sehingga membutuhkan pemikiran dan terobosan baru.
“UU Cipta Kerja ini merupakan penyederhanaan regulasi yang dibutuhkan, sehingga mau tidak mau birokrasi juga harus mengalami reformasi. Tapi saat pemerintah mengambil langkah, yang terjadi di masyarakat justru menolak. Ini paradoks. Kondisi ini harus kita luruskan,” tandasnya