Oleh : Birgaldo Sinaga
Seorang teman bertanya, apakah ada kemungkinan Presiden Jokowi dijatuhkan? Teman ini rada galau melihat dinamika politik yang semakin mengkhawatirkan.
Pada aksi 212 ia masih yakin Jokowi lolos dari upaya kudeta merangkak. Tapi kali ini berbeda suasana kebatinan publik. Ditambah lagi dengan tekanan resesi ekonomi dan pandemi Covid-19.
Saya tidak menjawab langsung pertanyaannya. Pertanyaan itu bisa diganti dengan pertanyaan lain. Semisal, mengapa banyak pendukung utama Jokowi mulai menjauh. Berseberangan secara terbuka. Frontal.
Saya mengenal pendukung-pendukung Jokowi yang punya kadar intelektual dan integritas yang tidak diragukan. Mereka berkarakter kuat. Rekam jejaknya gemilang.
Teman-teman pendukung tulus Jokowi ini kehilangan harapan pada sosok Jokowi yang dulu diperjuangkan mereka habis-habisan. Tanpa pamrih.
Suatu hari di pertengahan Juni 2018, ada puluhan influencer diundang ke Istana Bogor. Agendanya mendengarkan pemaparan Presiden Jokowi terkait kebijakan pemerintahannya. Dan juga urun rembug persoalan kebangsaan.
Saya kebetulan ikut hadir di sana. Duduk di deretan kursi pertama. Memberikan saran saat diberikan kesempatan bertanya.
Saya memohon kepada Presiden Jokowi agar penyebaran faham HTI di sekolah-sekolah, universitas dan lembaga pemerintahan dilawan sekeras-kerasnya. Rerata yang hadir sebagian besar saya kenal wajahnya.
Di depan kami, duduk seorang laki-laki ganteng berkacamata berambut gondrong. Ia duduk bersebelahan di samping kanan presiden. Di samping Jokowi ada Kepala KSP Moeldoko.
Siapa dia?
Savic Ali. Savic Ali intelektual muda NU yang sudah malang melintang berbagi pemikiran bernasnya mencerahkan publik. Ia juga banyak membangun portal-portal media online Islam moderat berbasis NU.
Selama ini, narasi media Islam garis keras mendominasi media online. Savic Ali bermodalkan kecintaannya pada bangsa berjuang membangun media portal online Islam moderat untuk menahan laju portal Islam garis keras.
Hasil perjuangan Savic Ali membanggakan. Portal media Islam moderat yang dibangunnya perlahan bisa menandingi narasi-narasi keras media intoleran. Lima jaringan itu ialah NU Online, Cyber Ansor, Netizen NU, Gusdurian, dan AIS Nusantara.
Saya terkesan dengan isi kepala Savic Ali. Cerdas. Jernih. Runut. Dan berisi. Pemaparannya saat berbicara di Istana Bogor itu memikat saya. Hampir 20 menit dia bicara.
Savic ini luar biasa. Ia bukan sekedar berwacana. Ia tahu apa yang harus dia lakukan untuk tetap menjaga negeri ini tetap berdiri tegak.
Beberapa hari lalu, Savic menulis guratan kecewanya. Orang seperti Savic ini boleh dikata orang yang paling sulit mengumbar rasa kecewa. Sepanjang yang saya tahu, isi postingannya jauh dari narasi kritik atau sindiran.
Berbeda dengan intelektual muda NU lainnya seperti Gus Nadir atau Akhmad Sahal yang selalu update menyampaikan kegelisahannya atas kebijakan Presiden Jokowi yang mengecewakan. Soal penegakan HAM atau pelemahan UU KPK misalnya.
Apa sesungguhnya yang terjadi?
Para pendukung Jokowi itu sejatinya banyak yang tulus dan tanpa pamrih. Savic Ali bahkan seumur hidupnya baru pertama kali mencoblos pada 2014. Ia mencoblos karena melihat wajah Jokowi adalah wajah Indonesia yang dimimpikannya.
Tapi sekarang?
Savic tidak melihat wajah Jokowi itu sama seperti periode 2014-2019. Wajah Jokowi terkelupas kulitnya berganti dengan tempelan kulit2 oligarki. Sampai2 tidak dikenal lagi warna kulit wajah asli Jokowi.
Savic Ali, Gus Nadir, Akhmad Sahal, Abdilah Toha, Ulil Absar Abdalah adalah pendukung Jokowi yang saya kagumi dan hormati. Saya tahu kualitas dan integritas mereka. Suara mereka kini bernada putus harapan.
Tidak ada lagi semangat bergelora yang dulu pernah membangkitkan banyak orang. Ada nada penyesalan pernah menggebu-gebu mendukung Jokowi.
Di kepingan lain, kelompok-kelompok yang selama ini merongrong pemerintahan Jokowi semakin solid dan kuat. Mereka semakin pintar bermain. Pintar mengatur strategi kapan menyerang. Kapan bertahan. Tidak grasa grusu lagi.
Keluarnya UU Omnibus Law ini benar-benar mereka manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak bergerak maju duluan. Mereka menahan diri maju di barisan pertama. Mereka datang di kloter kedua. Besok lusa 13 Oktober mereka akan melakukan aksi unjuk rasa. Besar-besaran. Berkekuatan penuh.
Kloter pertama penolak UU Omnibus Law ini mereka biarkan maju berhadap-hadapan dengan pemerintah. Mereka menahan diri agar kelompok penentang UU Omnibus Law ini tidak masuk polarisasi dalam pertentangan dengan kelompok 212 dan afiliasinya.
Hasilnya benar-benar menggembirakan mereka. Para pendukung Jokowi terpecah. Kelompok mahasiswa dan buruh bersatu. Bahkan organisasi mahasiswa Kristen yang selama ini condong ke Jokowi terang-terangan menentang UU Cipta Kerja ini.
Kini tinggallah pendukung Jokowi yang selama ini identik dengan buzzer istana. Mereka yang selama ini terus memuja-muji Jokowi.
Mereka yang selama ini tidak pernah mengingatkan Jokowi tentang bahayanya dimasukkannya tim mawar ke dalam pemerintahan Jokowi. Bahkan mereka adalah pendorong pelemahan UU KPK. Pendorong dikebutnya UU Omnibus Law ini.
Lalu apa yang bakal terjadi ke depan? Saya tidak bisa menjawabnya kawan.
Kita berdoa saja semoga Tuhan melindungi bangsa kita.
Salam perjuangan penuh cinta.
Sumber : Netralnews