Oleh : Rudi S Kamri (Pemerhati Sosial)
Rencana aksi mogok nasional buruh besar-besaran pada tanggal 6 – 8 Oktober 2020 untuk menolak pengesahan UU Omnibuslaw Cipta Lapangan Kerja ternyata hanya gertak Sambal ala Said Iqbal. Modus seperti ini bukan pertama dilakukan oleh Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga kader PKS ini. Setelah beberapa kali menimbulkan kegaduhan dengan ancaman mengerahkan pasukan jutaan buruh, ternyata hanya sekedar niat Said Iqbal untuk mendapatkan perhatian Presiden. Buktinya setelah dipanggil ke Istana, langsung terbit maklumat pembatalan kerahkan massa. Secara seketika.
Lalu apa kompensasi yang diterima Said Iqbal dari Pemerintah untuk mau membatalkan rencana aksinya? Apakah akan diberikan sebuah kursi jabatan selevel wakil menteri atau kompensasi dalam bentuk lain? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, tipikal seorang seperti Said Iqbal bukan sosok bijak yang legowo sekedar mendengarkan paparan Presiden. “Tidak ada makan siang gratis” atau “There no ain’t such thing as a free lunch”. Pasti ada terjadi politik dagang sapi, entah apa bentuknya.
Penyelesaian pragmatis seperti dagang sapi mungkin bisa menyelesaikan kepentingan jangka pendek. Namun pola penyelesaian seperti ini bukan merupakan penyelesaian yang baik dan bermartabat. Penyelesaian yang cenderung merusak tatanan, etika dan sistem yang dibangun berpuluh-puluh tahun. Belum lagi akan menjadi pola rujukan atau preseden yang sangat buruk. Kalau ingin jabatan atau uang besar, lakukan gertak sambal disertai ancaman. Nah ini bahaya buat penegakan hukum kita ke depan. Hukum dan aturan bisa dipermainkan dan diperdagangkan hanya untuk kepentingan jangka pendek.
Dalam bayangan saya, Said Iqbal dan temannya bisa runduk manggut-manggut di depan Presiden. Namun saat di belakang Presiden, dia dan kroni-kroninya serta merta akan terbahak-bahak menertawakan takluknya Pemerintah terhadap gertak sambal mereka.
Pada saat negara dijalankan dengan kesepakatan-kesepakatan dengan para mafia dan petualang politik, maka yang akan terbentuk adalah sistem pemerintahan yang rapuh tanpa kewibawaan dan kehormatan. Rakyat hanya dijadikan komoditi yang suaranya bisa diperjual-belikan dengan cara apa saja. Demokrasi hanya terbentuk secara prosedural, bukan demokrasi esensial.
Pola aksi ala Said Iqbal sudah pasti akan menjadi referensi siapapun. Dan pada saatnya Pemerintah akan kebingungan memenuhi permintaan mereka. Ini suatu konsekuensi yang harus diambil karena kebijakan yang akomodatif. Di sisi lain rakyat hanya terbengong-bengong melihat drama realisme ala Indonesia. Dan Gatot Nurmantyo dan kelompok KAMI juga akan kebingungan. Bagaimana tidak, sudah terlanjur mendukung dan berselancar di atas gerakan mogok nasional eh ternyata hanya permainan kadal ala Said Iqbal. Pentolan KAMI hanya bisa gigit jari kaki.
So, apapun yang terjadi inilah negeriku, tanah airku, tumpah darahku. Semua bisa terjadi, semua bisa diatur dan semuanya jadi ngelantur. Kita tinggal menunggu Said Iqbal dilantik jadi apa atau dapat apa. Sedang kita rakyat jelata, tidak bisa berbuat apa-apa….