Pelaksana Pilkada Serentak 2020 semakin dekat. 270 Pasangan Calon Gubernur, Bupati dan Walikota beserta para tim sukses mereka saat ini sibuk merumuskan strategi pemenangan untuk bisa mendapatkan jabatan yang diinginkan.
Berbagai APK (Alat Peraga Kampanye) seperti spanduk, baliho, stiker, kaos dan masker menjadi senjata untuk meraup suara.
Namun pelanggaran demi pelanggaran memang sulit untuk tidak dicurigai. Demi menunjukkan eksistensinya di pesta demokrasi, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan atensi publik, seperti menyusup dalam acara yang digelar oleh pemerintah, ataupun dalam ceramah dengan menyisipkan pidato politis di rumah ibadah.
Menjadikan rumah ibadah, baik itu di Masjid, Gereja, Katedral, Kelenteng, Kuil dan Vihara sebagai tempat untuk menyebarkan ujaran politis memang sungguh tidak etis, mengingat rumah ibadah terdapat banyak jamaah yang memiliki ideologi politis yang berbeda.
Salah satu indikasi gerakan politisasi rumah ibadah adalah isi ceramah atau khutbah yang mengarahkan jamaah pada kepentingan Paslon tertentu. Jika hal ini terjadi maka tidak menutup kemungkinan, perpecahan sesama umat akan sulit untuk dihindari.
Menilik dari fungsinya, rumah ibadah berfungsi sebagai tempat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Sehingga apabila politisasi rumah ibadah memang benar-benar ada, maka hal tersebut tentu mendegradasi fungsi dari rumah ibadah itu sendiri.
Politisasi rumah ibadah memang sudah diterapkan pada pesta demokrasi sebelumnya oleh para politikus. Hal ini diterapkan agar kelompoknya dapat mendulang suara dari para jamaah. Sebagian masyarakat sering mengeluhkan tentang kampanye hitam yang dibalut dalam nuansa ceramah dengan model politik indentitas. Hal ini tentu mendapat penolakan oleh masyarakat apabila rumah ibadah disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis dalam Pilkada Serentak 2020 ini.
Pada tahun 2017 saat Pilgub DKI Jakarta, aksi walk out atau meninggalkan rumah ibadah (masjid) ketika materi khutbah mengandung unsur politis sempat booming. Tatkala pada saat itu masyarakat merasa tidak nyaman ketika khatib yang semestinya menyampaikan ajaran keagamaan, dinodai oleh persoalan politik. Berkat hal tersebut, ribuan orang mendeklarasikan program anti politisasi rumah ibadah (masjid). Aksi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi rumah ibadah sebagaimana mestinya.
Kala itu rumah ibadah (masjid) dan penceramahnya sering mempersoalkan isu – isu tertentu yang dapat menjatuhkan calon lain. Mimbar tempat berkhotbah sering menjadi saksi bisu para penceramah yang menekankan pentingnya memilih pemimpin yang seiman. Selain itu muncul juga spanduk yang berisi penolakan pengurus rumah ibadah (masjid) untuk mengurus pemakaman pemilih Cagub tertentu.
Mungkin masih ada yang bertanya kenapa rumah ibadah menjadi sasaran untuk kegiatan politis. Hal ini Gus Sholeh Marzuki selaku Koordinator Agama Cinta menuturkan meski media online atau media sosial memiliki peran dalam mengorganisasi massa, namun kemampuannya tak lebih hebat dari jaringan sosial yang terbangun dari kegiatan di rumah ibadah
Politisasi rumah ibadah bukan berarti menyuarakan agar umat menjauhi politik, namun kata Gus Sholeh politisasi rumah ibadah harus ditolak jika dalam materi ceramah ataupun khutbah berisi materi tentang ujaran kebencian, intoleran atau ajakan untuk menjatuhkan Paslon yang lain.
Masyarakat tentu tidak boleh alergi dengan kata politik, karena dalam segenap aspek kehidupan, politik memiliki peran untuk merumuskan berbagai kebijakan untuk kemaslahatan umat. Untuk itu menjelang pesta demokrasi Pilkada Serentak 9 Desember 2020 ini, kita sebagai masyarakat harus cerdas dalam membedakan antara politisasi untuk kepentingan seluruh umat atau politisasi untuk kepentingan golongannya sendiri.
Menghadapi pelaku yang menyebarkan fitnah atau ceramah yang destruktif, tentu bukan berarti kita mewaspadai rumah ibadah. Tetapi waspadailah jaringan sosial yang menyebabkan para aktor politik mendapatkan panggung untuk menyebarkan ujaran kebencian.
Selengkapnya silahkan ikuti Webinar Lintas Iman, dilaksanakan oleh komunitas Agama Cinta edisi ke 7, dengan tema: “Stop Politisasi Rumah Ibadah Dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020”, yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 3 Oktober 2020, dengan narasumber sebagai berikut:
Gus Sholeh Mz (Koordinator Agama Cinta)
* Romo Beny Susetyo
(Stafsus BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila)
*Romo Asun
(Wasekjen Walubi)
(Perwakilan Umat Buddha Indonesia)
*Ida Made Sugita
Rohaniwan Hindu – Kementerian Agama
Sudarto (Toto)
Pemerhati Sosial Budaya & Aktivis Toleransi
*Ws Sofyan Jimmy Yosadi, SH
Dewan Rohaniwan Pimpinan Pusat MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghuc Indonesia)
*Bishop Darwis Manurung, M.Psi
(Ketua Umum PGI Wil. Sumatera Utara
Moderator
*Muhardi Karijanto, SE, MM
DPP NINJA (Negeriku Indonesia Jaya)
Diakhiri dengan doa penutup oleh Habib Ja’far Shadiq bin Yahya