PM Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed dan Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid al Zayani dijadwalkan menandatangani “Abraham Accord” di Halaman Selatan Gedung Putih. Perjanjian itu mulanya dicapai antara Israel dan Uni Emirat Arab pada 13 Agustus, dan Bahrain pada Jumat pekan lalu mengumumkan akan secara resmi mengakui negara Yahudi itu seperti dikutip VOA.
Berdasarkan perjanjian tersebut, PM Netanyahu telah setuju untuk menghentikan rencana menganeksasi sebagian Tepi Barat. Tetapi para pengamat menyatakan perjanjian ini merupakan isyarat lebih jauh mengenai pergeseran dinamika di Timur Tengah, dengan semakin banyak negara Arab yang semakin akrab dengan Israel, membuat Palestina terkucil.
Dana El Kurd dari Al-Shabaka, lembaga kajian Palestinian Policy Network, mengatakan kepada VOA pekan lalu bahwa perjanjian normalisasi antara Israel dan Bahrain merupakan bukti lanjutan bahwa pemerintah negara-negara Arab meninggalkan Prakarsa Perdamaian Arab 2002, tanpa menerima “sesuatu yang nyata terkait dengan dasar perjuangan dan proyek negara Palestina.”
Pemerintahan Trump membanggakan kesepakatan antara Israel, Uni Emirat Arab dan Bahrain sebagai kemenangan kebijakan luar negeri penting dalam waktu dua bulan yang tersisa menjelang pemilihan presiden 3 November mendatang.
Mantan wakil presiden Joe Biden, pesaing Trump dari partai Demokrat, mengatakan ia mendukung lebih banyak negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel sewaktu menanggapi pertanyaan VOA baru-baru ini, tetapi ia juga mengatakan bahwa ia meyakini “bahwa Israel harus bersiap-siap bekerja ke arah solusi dua negara yang sesungguhnya” dengan Palestina.