ESENSINEWS.COM, JAKARTA – Para Pelaku kejahatan Intoleran yang mempersekusi keluarga Habib Assegaf Al Jufri di Solo pada tanggal 8 Agustus 2020, tidak cukup hanya dijerat dengan pasal 160, 170, 335 jo. pasal 55 KUHP, melainkan harus dijerat dengan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, yang sanksi pidananya lebih berat yaitu penjara 5 sd. 20 tahun atau seumur hidup.
“Para Pelaku berasal dari Laskar Solo, artinya Pelaku adalah Anggota dan/atau Pengurus Ormas, yang diduga telah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh ketentuan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas yaitu melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang Penegak Hukum,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus.
Larangan dan ancaman pidana bagi Anggota dan/atau Pengurus Ormas yang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang Penegak Hukum dimaksud, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling tinggi 20 tahun (Pasal 59 dan 82A UU No.16 Tahun 2017 Tentang Ormas.
POLRI TIDAK KONSISTEN
Petrus mengatakan, penjelasan Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Lhutfi bahwa pihaknya telah berhasil meringkus 5 (lima) orang “Pelaku Intoleran” di Solo, Jawa Tengah, masing-masing berinisial DD, MM, MS,ML, dan RN. sedangkan pelaku lainnya yang masih melarikan diri, tetapi tengah dilakukan pengejaran dan diminta untuk menyerahkan diri, patut kita apresiasi.
Namun demikian jika Para Pelaku hanya dijerat dengan pasal-pasal pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 160, 170, 335 KUHP jo. pasal 55 KUHP, dengan menegasikan atau memgesampingkan ketentuan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, yang memastikan bahwa Intoleransi merupakan kejahatan berat dengan ancaman pidana penjara seumur hidup, maka patut dipertanyakan.
“Publik menuntut konsistensi sikap Polri dalam kasus Intoleransi di Solo dan di tempat tempat lain di Indonesia, karena penindakan kejahatan Intoleransi tidak linear dengan semangat dan cita-cita Presiden Jokowi dengan dukungan penuh seluruh rakyat, ketika merevisi UU No. 17 Tahun 2013, Tentang Ormas melalui Perpu No. 2 Tahun 2017, yang disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017, Tentang Ormas,” tandasnya.
ABAIKAN KOMITMEN NASIONAL DAN INTERNASIONAL
Polri akan gagal mewujudkan komitmen nasional dan internasional sesuai UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, khususnya dalam kasus Intoleransi di Solo dan di tempat-tempat lain di Indonesia, jika para pelaku hanya dijerat dengan pasal-pasal pidana ringan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160, 170, 335 KUHP jo. pasal 55 KUHP atau antara Pelaku dan Korban didamaikan sebagaimana selama ini terjadi.
Sementara ketentuan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas yang seharusnya menjadi landasan utama dalam menjerat pelaku Intoleran, justru dikesampingkan atau kasusnya dihentikan Polisi karena Pelaku dan Korban berdamai.
Polri harus paham bahwa semangat pembentukan UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas adalah wujud komitmen nasional dan internasional negara dan rakyat Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum dan ikut menciptakan ketetiban dan perdamaian dunia.
Dengan demikian maka konsistensi Polri dalam menegakan hukum dengan menerapkan pasal-pasal pidana di dalam UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas dalam kasus Intoleran, Radikal, Persekusi dan SARA, merupakan keharusan di tengah menguatnya kejahatan Intoleransi dan Radikal, yang mengancam disintegrasi bangsa sulit dielakan. (*)