ESENSINEWS.com – Mantan Hakim Agung MA, Topane Gayus Lumbuun punya pandangan yang menarik terhadap Perma No 1 Tahun 2020 yang ditandatangani Ketua MA Syarifuddin dan mulai diundangkan pada 24 Juli 2020 lalu. Menurut Gayus, tujuan Perma tersebut bagus yakni untuk menghindari disparitas hukuman dalam kasus-kasus korupsi yang merugikan negara.
Tetapi dalam praktek di lapangan, tegas Gayus Lumbuun, Perma tersebut bisa membelenggu kebebasan hakim dalam memutus sesuatu perkara. Perma tersebut juga berpotensi mengkotak-kotakkan hukum. Berikut petikan lengkap wawancara reporter.id (R) dengan Gayus Lumbuun (GL) di kantornya, kemarin.
R : Apa pendapat Anda tentang Perma No. 1 Tahun 2020, kenapa MA bikin aturan itu?
GL : Penerbitan Perma No 1 Tahun 2020 itu sebenarnya bertujuan baik. Yakni untuk menghindari disparitas hukuman kasus-kasus yang merugikan negara yang diputuskan hakim. Ada dua macam disparitas dalam kaitan Perma ini. Pertama, agar hakim dalam memutus perkara bisa sama. Perma No 1 Tahun 2020 itu sebagai patokan bagi para hakim (yang duduk dalam majelis hakim) dan penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa agar pada waktu membuat tuntutan ke pengadilan, sama tingginya.
Ada standar lamanya hukuman yang dijatuhkan. Karena kadang-kadang dalam perkara yang sama, ancaman hukumannya tidak sama. Ada disparitas hukuman yang diberikan atau dijatuhkan. Karena dikhawatirkan ada diskriminasi atau disparitas hukuman itulah, maka MA menerbitkan Perma No 1 Tahun 2020.
Yang kedua adalah upaya untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi terdakwa, maka diterbitkanlah Perma No 1 Tahun 2020 yang isinya tentang pengaturan ancaman hukuman hakim yang seragam terhadap tingginya tuntutan berdasarkan kerugian negara. Misalnya, kalau korupsinya Rp 100 miliar ke atas, ancaman hukumannya bisa sampai seumur hidup.
R : Bisa dijelaskan, katagori hukuman apa saja yang diatur dalam Perma ini?
GL : Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020 ini memungkinkan koruptor bisa dipidana seumur hidup bila merugikan negara di atas Rp 100 miliar. Secara lebih rinci, regulasi ini membagi hukuman koruptor menjadi lima kategori. Pertama, kategori paling berat yaitu perkara yang terkait kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar. Kedua, kategori berat dengan kerugian negara sebesar Rp 25 miliar sampai Rp 100 miliar.
Ketiga, kategori sedang yaitu yang menyangkut kerugian negara sebesar Rp 1 miliar hingga Rp 25 miliar. Keempat, kategori ringan yaitu kerugian negaranya sebesar Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. Kelima atau terakhir, kategori paling ringan, yakni perkara yang terkait kerugian Negara yang kurang dari Rp 200 juta.
R : Selain faktor uang negara yang dicuri terdakwa, kesalahan apa saja yang dipertimbangkan hakim dalam Perma No 1 Tahun 2020?
GL : Hukuman yang dijatuhkan hakim tentu mempertimbangkan kesalahan, dampak, dan keuntungan bagi si terdakwa. Ada tiga jenis kesalahan, pertama kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi. Kedua, kesalahan sedang, dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang. Ketiga, kesalahan rendah, dampak rendah dan keuntungan terdakwa rendah
Sedangkan ancaman hukumannya adalah penjara seumur hidup atau penjara 16-20 tahun bagi terdakwa korupsi yang mengakibatkan kerugian negaranya Rp 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi, dan keuntungan terdakwa juga tinggi.
Hukuman penjara 13-16 tahun penjara bagi terdakwa korupsi yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 100 miliar lebih, kesalahan sedang, dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang.
Hukuman penjara 10-13 tahun penjara bagi terdakwa korupsi yang kerugian negaranya Rp 100 miliar lebih, tapi kesalahan ringan, dampak ringan, dan keuntungan terdakwa ringan.
R : Kalau begitu, sebenarnya ancaman hukuman dalam UU Tipikor lebih berat dari ketentuan Perma ini, apa komentar Anda?
GL : Ya, ancaman hukuman yang tinggi itu sebenarnya sudah ada dalam UU Tipikor tapi tidak dihitung melalui besaran kerugian negara. Dalam UU Tipikor, ancaman hukumannya malah sampai hukuman mati. Ancaman hukuman mati saat negara dalam keadaan krisis seperti sekarang ini, dalam keadaan perang, dan/atau karena bencana alam.
Jadi artinya, ancaman hukuman yang tinggi itu bukan hal yang baru. Lebih berat ancaman hukuman yang ada dalam UU Tipikor yakni hukuman mati. Hukuman mati itu kadarnya lebih tinggi atau lebih berat dibanding hukuman seumur hidup.
Ancaman hukuman yang tinggi itu (hukuman seumur hidup) sudah pernah diterapkan kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar dan Brigjen Tedy Hernayadi. Akil diputus bersalah dalam kasus korupsi oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Sedangkan Brigjen Tedy dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Militer Tinggi II, Penggilingan, Jakarta Timur dalam kasus korupsi di Kementerian Pertahanan.
Baru dua itu yang kita ingat. Tapi bukan semata-mata tidak cukup berat. Kalau kita lihat Perma ini korupsi uang negara Rp 5 miliar ancaman hukumannya ringan banget, hanya 5 tahun. Padahal hanya Rp 50 juta saja ancaman hukumannya bisa 5-10 tahun, jadi lebih berat dari Perma ini.
Tapi saya tidak membahas berat ringannya hukuman yang diatur dalam Perma No 1 Tahun 2020, tapi saya mengkaitkan Perma ini tidak boleh berlawanan dengan UU, aturan, atau norma hukum yang sudah ada.
R : Menurut Anda, apakah ada yang aneh dalam Perma No 1 Tahun 2020?
GL : Seperti yang saya sampaikan tadi, Perma No 1 Tahun 2020 ini tujuannya baik. Tapi dalam praktek di lapangan, Perma No 1 Tahun 2020 ini bisa membelenggu kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman demi keadilan menurut keyakinannya. Perma ini juga bisa mengkotak-kotakkan hukum. Itu yang saya tidak setuju dan sangat saya sayangkan.
R : Kenapa begitu, tolong Anda jelaskan.
GL : Karena pada dasarnya, hakim itu bebas dalam memutus perkara. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Ini mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugas bebas dari intervensi siapapun.
Hakim itu mandiri, dalam arti tidak tergantung kepada apa atau siapapun, oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar putusannya objektif.
Kemandirian dan kebebasan hakim bukanlah kebebasan absolut atau tanpa batas, tetapi kemandirian yang didasarkan oleh norma yuridis, kode etik profesi, dan norma moral. Bukti kemandirian peradilan ditentukan oleh peran hakim dalam menangani atau menyelesaikan perkara hukum.
Selain berdasar keyakinannya, hakim juga harus mandiri dalam memutus perkara. Tidak boleh ada pengaruh dari kekuatan yang berasal dari pihak manapun. Dalam posisi ini, jelas peran lembaga peradilan sangat menentukan bila mampu menunjukkan kinerjanya sebagai pilar negara hukum yang diharapkan masyarakat.
R : Kalau begitu, kemandirian hakim itu bukan milik dia sendiri tapi juga milik pencari keadilan?
GL : Ya, independensi hakim mutlak untuk dijaga dan diupayakan agar tetap terjaga. Karena independensi hakim bukanlah milik dia sendiri, melainkan milik pencari keadilan, milik publik. Setiap upaya untuk mereduksi kemandirian hakim dalam mengadili dan menjalankan fungsi teknis yudisial, termasuk pengaruh politik dan pengaruh kesejahteraan dan keuangan hakim, mesti ditolak.
R : Jadi, menjaga kemandirian hakim merupakan persoalan yang penting, menurut Anda?
GL : Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Oleh karena itu Hakim sebagai unsur yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam nenjalankan tugas memeriksa dan memutus perkara, wajib menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam memberikan putusan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sumber : Repertor.id