ESENSINEWS.com – Sikap kritis ekonom senior Rizal Ramli terhadap keberadaan China yang kini makin meresahkan kedaulatan Indonesia sudah berlangsung sejak lama.
Bahkan saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya di periode pertama Presiden Joko Widodo, RR, sapaan Rizal Ramli, membuat gebrakan yang memicu kebencian China.
Di bawah kepemimpinan RR, sektor Kemaritiman sejatinya pernah menjadi perwujudan kedaulatan Bangsa Indonesia terhadap China, salah satunya dengan menginisiasi perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
Namun menurut mantan Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Adhie Massardi, ketegasan inilah yang menjadi salah satu penyebab dicopotnya RR dari jabatan Menko.
“Mereka (China) sangat terganggu. Bagi mereka, perubahan nama otomatis membawa konsekuensi kepemilikan,” kata Adhie yang juga merupakan orang dekat RR ini, Kamis (06/8/2020).
Sejatinya, perubahan nama Laut China Selatan semata-mata didasari kepentingan menjaga kedaulatan Indonesia. Selama puluhan tahun, Laut Natuna merupakan milik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam konvensi Hukum Laut PBB pada 1982 atau ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS).
Perubahan nama menjadi Laut Natuna Utara dilakukan setelah muncul temuan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda tahun 2016 mengenai perselisihan Laut China Selatan antara China dan Filipina. Dalam simpulannya, klaim China tidak memiliki dasar hukum terhadap perairan laut Natuna Utara yang kaya dengan sumber daya alam.
“Tapi apa yang dilakukan RR adalah gangguan besar bagi kedaulatan, gangguan bagi nine dash line-nya China. Jalan menghentikannya jangan biarkan RR di kabinet,” jelas Koordinator Gerakan Indonesia Bersih ini.
Kedaulatan bangsa yang tercermin dalam sektor kemaritiman berubah drastis usai RR lengser, keberpihakan kepada China pun mulai terlihat.
WPP 711 yang ditetapkan meliputi ZEE Laut Natuna Kawasan Utara merupakan klaim sepihak Indonesia, perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pun dianggap bisa memicu eskalasi kawasan dengan Malaysia dan Vietnam, dan perlunya menjadikan ZEE di laut Natuna kawasan utara sebagai zone of peace and freedom.
Pertimbangan yang demikian itu disebut hanya mengenai hubungan bilateral RI dengan Vietnam dan Malaysia.
China yang paling terganggu justru sama sekali tidak disebut. “Masalahnya juga coba dikaburkan seolah-olah potensi ekonomi di kawasan itu hanya ikan, padahal sangat kaya migas,” urainya.
Hal lain yang tak kalah penting dalam motif pemecatan Rizal Ramli di Kabinet Kerja yakni persoalan reklamasi teluk Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Rizal Ramli, kata Adhie, dilengserkan saat isu penyegelan Pulau G hasil reklamasi yang mana proyek tersebut milik Agung Podomoro Land.
Kala itu, RR melihat reklamasi pulau G dikerjakan secara ugal-ugalan, membahayakan lingkungan hidup, mengganggu lalu lintas laut dan harus dibatalkan.
Masih berkenaan dengan China, reklamasi Teluk Jakarta juga banyak dianggap bagian dari proyek raksasa One Belt One Road (OBOR) yang disebut dicanangkan China untuk menjadi titik awal bangkitnya Jalur Sutra abad 21 di Asia Tenggara. OBOR mengintegrasikan 65 negara yang mencakup 4,4 miliar penduduk dan 40% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Melihat hal itu, narasi yang kerap digaungkan Rizal Ramli agar tak menjadi antek China pun cukup logis.
“Penghentian reklamasi memunculkan reaksi balik yang besar. Inilah juga yang membuat RR dikeluarkan dari kabinet,” tegasnya.
Terlalu jauh berhayal ilustrasinya tong